Oleh:
Hilman Fitri*
Al-Quran
diyakini oleh umat manusia sebagai kalamullah (firman Allah) yang mutlak
benar, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran serta petunjuk tentang
berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat
nanti.Ajaran dan petunjuk al-Quran tersebut berkaitan dengan berbagai konsep
yang amat dibutuhkan oleh manusia dalam mengarungi kehidupannya di dunia ini
dan di akhirat kelak (Qardhawi, 1993: 11).
Ali
an Nadawi (1981: 77) mengatakan bahwa Allah SWT
mengutus Nabi Muhammad saw disertai turunnya al-Quran sebagai bukti kenabiannya
yang paling besar di saat dunia dalam keadaan kacau-balau, segalanya jungkir
balik, berantakan tak beraturan bagai dilanda gempa yang dahsyat. Pada
saat itu pula manusia seakan-akan telah kehilangan kemausiaannya, tinggal sosok
tubuh saja yang menyembah batu, pohon, atau kali, atau benda lain yang bahkan
tak berarti apa-apa bagi dirinya sendiri.
Ketika menyikapi persoalan hidup yang dihadapi oleh umat
Islam saat ini banyak yang berpendapat bahwa persoalan yang terbesar yang
dihadapi oleh umat ini tidak lain ialah kekalahan dalam gelanggang politik. Maka
penyelesaian yang ditawarkan pun tak jauh dari perkara berebut kekuasaan.
Namun ada sesuatu yang membuat penulis
tertarik ketika membaca kutipan Wan Mohd (2003: 177) yang mengutip perkataan Syed Naquib
al Attasdi mana beliau menyatakan bahwa persoalan kemunduran umat Islam,
perkara utamanya, bukanlah persoalan kekalahan di gelanggang kekuasaan.
Kemunduran umat sekarang ini disebabkan menyelempangnya ilmu yang dengan
demikian menyebabkan ketiadaan adab. Pandangan beliau tentang ketiadaan adab
dan kerusakan ilmu dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Kebingungan dan kekeliruan persepsi mengenai ilmu pengetahuan, yang selanjutnya menciptakan:
- Ketiadaan adab dalam masyarakat. Akibat yang timbul dari butir pertama dan kedua adalah:
- Munculnya pemimpin yang bukan saja tidak layak memimpin ummat, melainkan juga tidak memiliki akhlak yang luhur dan kapasitas intelektual dan spiritual mencukupi, yang sangat diperlukan dalam kepemimpinan Islam. Mereka akan mempertahankan kondisi yang disebut dalam butir pertama di atas dan akan terus mengontrol permasalahan-permasalahan sosial-kemasyarakatan melalui tangan para pemimpin lain yang berwatak sama dengan mereka dan akan mendominasi berbagai sektor kehidupan.
Mengenai kebingungan dan kekeliruan
persepsi mengenai ilmu pengetahuan inilah, yang mengharuskan seorang mahasiswa
muslim tidak selayaknya hanya menjadi “pengumpul” pengetahuan tanpa memiliki
sikap terhadap yang telah diketahui. Banyak di antara kita yang mengetahui
banyak hal, akan
tetapi tidak pernah tahu untuk apa kita mengetahui pengetahuan itu. Sehingga menurut
Qarni (2006: 267)
salah satu syarat mutlak sebuah keberhasilan dalam menguasai ilmu ialah adanya
spesialisasi ilmu di mana seseorang mengenali kemampuan dan keahlian yang
dimiliki, mengenai bidang yang sesuai dengan dirinya, kemudian mencurahkan segala
kemampuan dan waktu yang dimiliki untuk menekuni bidang tersebut.
Walaupun
spesialisasi itu sangat diperlukan sekali dalam keberhasilan memperoleh ilmu
pengetahuan dengan matang. Namun alangkah sedihnya kita, kalau kita hanya
menggeluti satu ilmu pengetahuan saja tanpa kita mempelajari bidang-bidang ilmu
pengetahuan yang lainnya sebagai contoh ketika seseorang hanya menguasai ilmu
gramatika bahasa saja, namun ia tidak mempelajari sosiolinguitik dan
psikolonguistik ialah dahulu ada seseorang yang ahli dalam ilmu bahasa
terperosok ke dalam jurang terus ada seseorang yang ingin menolongnya, namun
dikarenakan ada kata-kata dari si penolong yang agak keliru kalau ditinjau dari
segi kebahasaan lantas ia (si ahli bahasa) menegurnya untuk memperbaiki susunan
kata-kata si penolong.
Alangkah malang sekali ia, bukannya ia diselamatkan oleh
si penolong tersebut akan tetapi ia malah dicampakkan begitu saja tanpa
ditolong oleh si penolong tersebut karena kalimat pembenaran yang diucapkan
oleh si ahli gramatika bahasa itu telah membuatnya tersinggung. Karena pada
dasarnya kebanyakan manusia itu tidak menyukai untuk dikritik apalagi kalau
dalam keadaan genting seperti itu. Oleh karena itu hendaknya kita mempelajari
ilmu pengetahuan yang tidak hanya berhubungan dengan keagamaan saja namun harus
dipelajari pula berbagai penemuan-penemuan yang ditemukan oleh para peneliti
Barat, yang sebagaimana telah kita ketahui bahwa orang-orang Barat dahulu pun
mereka mempelajari hasil penelitian-penelitian para ilmuwan Islam yang tidak
hanya sebagai “pengumpul” saja akan tetapi mereka pun lalu mengkaji dan membuat
inovasi dengan ditimbang berdasarkan cara pandang hidup mereka. Sehingga kita
pun seharusnya menimbang segala pengetahuan yang telah kita terima dengan
pandangan hidup kita sendiri, pandangan hidup Islam (Worldview of Islam,
Mabda’ul Islam, ar ru’yatul Islam lil Wujud).
Worldview,
menurut
Alparslan Acikgence (dalam Fahmi
Zarkasyi, 2004: 3) adalah asas bagi setiap perilaku
manusia termasuk aktivitas-aktivitas ilmiah dan teknologi. Dengan demikian,
segala pengetahuan yang muslim peroleh harus ditimbang dengan worldview Islam.
Seorang muslim tidak dapat menerima begitu saja apa yang diajarkan atau
dipelajarinya baik di bangku sekolah ataupun perkuliahan ataupun yang lainnya.
Namun kita haruslah bersikap kritis terhadapnya.
Di
dalam Islam, orang yang diberikan ilmu pengetahuan seringkali disebut sebagai ‘aalim
(عالم) atau ‘ulamaa (علماء).Kata ilmuini sebenarnya sudah menjadi sebuah kata dalam
bahasa Indonesia, bukan hanya sekedar dalam bahasa Arab,
bahkan lebih dari itu tercantum dalam Al Qur'an.Kata 'ilm dalam Al
Qur'an diungkapkan sebanyak 105 kali, lebih banyak sedikit dari kata al-Dien
(103 kali).Kata 'ilm dengan kata jadiannya terungkap kurang lebih
sebanyak 744 kali.Suherman (2012: 1-2) telah memperincinya sebagai berikut:
1. عَلِمَ/ 'Alima
|
: 35 kali;
|
2. يَعْلَمُ /Ya'lamu
|
: 215 kali;
|
3. إِعْلَمْ /I'lam
|
: 31 kali;
|
4. يُعْلَمُ/Yu'lamu
|
: 1 kali;
|
5. عِلْمٌ /'Ilm
|
: 105 kali;
|
6. عَلِم /'Alim
|
: 18 kali;
|
7. مَعْلُوْم /Ma'lum
|
: 13 kali;
|
8. عـلَمِيْنَ/'Alamin
|
: 73 kali;
|
9. عَالَم /'Alam
|
: 3 kali;
|
10. اَعْلَمْ/ A'lam
|
: 49 kali;
|
11. عَلِيْم
– عُلَمَاء
'alim
– 'Ulama
|
:
163 kali
|
12. عَلَّمَ/'Allam
|
: 4 kali;
|
13. عَلَّمَ'Allama
|
: 12 kali;
|
14. يُعْلِم/Yu'lim
|
: 16 kali;
|
15. عُلِمَ'Ulima
|
: 3 kali;
|
16. مُعَلَّمMu'allam
|
: 1 kali
|
17. تَعَلَّمTa'allam
|
: 2 kali.
|
Penulis sangat tertarik akan sebutan mengenai
mereka itu dalam al Quran yang
salah satunya ialah ‘uulul ‘ilmi (أولواالعلم).Adapun kata ‘uulul
‘ilmi ini hanya diungkapkan satu kali saja yaitu dalam Q.S Ali Imrân ayat
18. Di mana ayat ini berkenaan dengan kesaksian para malaikat serta orang-orang
yang berilmu bahwasannya tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah SWT
Yang Maha Adil.
Mengacu pada latar belakang pemikiran tersebut, artikel
ini mencoba untuk mengkaji konsep ‘uulul ‘ilmi beserta karakteristiknya
dalam al Quran melalui kajian semantikyaitu cabang linguistik yang mempelajari makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Sehingga dalam artikel
ini penulis mencoba menganalisis lafadznya terlebih dahulu lalu menjelaskan
tafsiran makna kata tersebut dari kitab-kitab tafsir maupun kamus-kamus bahasa
Arab yang relevan dengan pembahasan ini.
Besar harapan artikel ini memberikan sumbangsih yang
berharga baik secara akademis maupun praktis.
Konsep Ulul Ilmi dalam al Quran
Secara bahasa, kata ûlû ((اولوا ini merupakan bentuk jamak dari
âlun (آل) yang bermakna keluarga, sahabat, pemilik, dan yang memiliki
(Mukhtar, 2008: 141). Kata ini senantiasa di-idhafat-kan dengan isim
dhahir (kata yang nampak jelas), seperti أولو الأحلام والنُّهى : yang memiliki akal sempurna serta
mampu mencegahnya dari hal yang tidak baik, أولو الأمر : pemegang kekuasaan,أولو الحل و العقد: para hakim yang memutuskan suatu perkara.
Kata ilmu itu tersendiri berasal dari asal kata ‘alima-
ya’lamu yang bermakna ‘arafahu (mengetahui atau mengenalnya), adrakahu
(mencapainya), serta fahimahu (memahaminya secara mendalam)
(Mukhtar, 2008: 1541). Sedangkan menurut pakar Alquran al-Ashfahani (tt: 127) bermakna pengetahuan akan hakikat
sesuatu.Adapun secara istilah kata
ilmu berarti sejenis pengetahuan manusia yang diperoleh dengan riset terhadap
objek-objek yang empiris; benar- tidaknya suatu teori sains (ilmu) ditentukan
oleh logis- tidaknya dan ada- tidaknya bukti empiris (Tafsir, 2011: 14). Sehingga ketika
ilmu itu tidak logis namun ada bukti empiris itu namanya pengetahuan khayal.
Sedangkan apabila ilmu itu logis namun tidak ada bukti empirisnya maka
dinamakan pengetahuan filsafat.
Ketika
melihat pengertian ilmu yang ditawarkan oleh Ahmad Tafsir di atas seakan-akan
kita melihat bahwasannya ilmu yang ditawarkan oleh alquran mengenai hal-hal
yang bersifat ghaib serta tidak dapat dibuktikan secara empiris maka ilmu itu
namanya pengetahuan khayal. Salah satu contohnya Q.S Fushilat ayat 53 sebagai
berikut:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي
الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (53)
“Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah
bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu
adalah benar.Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas
segala sesuatu?”
Ketika
kita melihat lafad aayaatinaa disini banyak terjemahan yang mengartikannya
dengan tanda-tanda (kekuasaan) Kami yang ada di segala penjuru bumi dan pada
diri mereka. Namun ketika ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih
terungkaplah bahwasannya di dalam diri
kita itu terdapat ayat-ayat Allah yaitu al quran itu tersendiri sebagaimana
yang diungkap oleh Ahmad Khan ( dalam maqra MFQ)
ketika beliau mengkodekan gen-gen pada intron (ruang yang belum terkodekan
dalam kromosom) yang dikodekannya dalam bentuk huruf hijaiyyah. Adapun area
intron yang pertama dikodekan olehnya ialah p38q dalam kromosom 19, dan
hasilnya subhanallah ialah rangkaian huruf-huruf dari ayat pertama wahyu turun
yaitu
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Sehingga
yang tadinya ayat-ayat al Quran yang Allah terangkan ada dalam diri kita itu
dahulu ketika ayat itu disampaikan untuk pertama kalinya kepada manusia yang
hidup di zaman Rasulullah hanya berupa ilmu yang belum bersifat empiris karena
keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki, maka pada zaman
sekarang dapat dibuktikan bahwasaannya ayat-ayat itu tadi sudah bersifat
empiris dan tidak hanya dalam bentuk khayalan belaka. Maha Benar Allah atas
segala firman-Nya.
Selanjutnya
dengan demikian secara bahasa kata ûlûl‘ilmi ini dapat diartikan
sebagai seseorang yang memiliki suatu jenis pengetahuan manusiayang
diperolehnya melalui riset terhadap objek- objek yang empiris sehingga ia
mengetahuinya secara mendalam sampai menemukan hakikat ilmu tersebut.
Gabungan
(idhafat) kedua kata tersebut yakni ûlûl‘ilmi, di
dalam al Quran terungkap hanya satu kali yaitu pada Q.S Ali- Imrân ayat 18.
Adapun ayatnya ialah sebagai berikut:
“Allah menyatakan bahwasanya
tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan
keadilan.Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang
demikian itu).tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Secara
bahasa, menurut Warson Munawwir (1997: 746) makna syahida
bermakna menghadiri, menyaksikan, memberikan kesaksian, mengakui, mengetahui,
serta bersumpah. Sehingga kata syahida dalam ayat ini sebagaimana yang
diungkapkan oleh Mukhtar (2008: 1240) berarti telah mengetahui, menetapkan,
serta mengakui akan keesaan Allah Ta’âla (Mukhtar, 2008: 1240).
Secara
I’rab yakni salah satu cabang ilmu nahwu (dalam bahasa Indonesia sering
dinamakan sintaksis) kedudukan kata syahida sebagai fi’il madhi
(kata kerja lampau). Sehingga kalau dikaji lebih mendalam maka dapat
ditafsirkan bahwasannya Allah Ta’ala sejak zaman azali (proses penciptaan alam
semesta ini berikut isinya) telah bersaksi serta menetapkan bahwa tidak ada
Tuhan yang wajib disembah kecuali Dia Yang Maha Adil. Atau dengan kata lain
bahwa sejak zaman azali, manusia (masih berupa janin, baik nantinya ia akan
menjadi orang yang berilmu ataupun tidak) seluruhnya mengakui Allah sebagai
Tuhan mereka, meskipun pada perkembangannya pada kehidupan dunia terjadi
penyimpangan dari pengakuannya itu. Hal inilah yang akan
dipertanggungjawabkannya pada hari kiamat, apakah dia tetap mengakui keesaan
Allah dalam kehidupan dunia atau mengingkarinya. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Allah Ta’ala dalam Q.S Al- A’raf [7]: 172
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini
Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi
saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Bahkan
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari (tt: 100) dari Abu
Hurairah, telah bersabda Rasulullah saw sebagai berikut:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ،
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Semua
anak yang dilahirkan, mereka dilahirkan atas dasar fitrah (tauhidullah).Ibu
bapaknyalah yang meyahudikan (menjadikan pemeluk agama Yahudi), atau
menasranikan (menjadikan pemeluk agama Nashrani), atau memajusikan (menjadikan
pemeluk agama Majusi).”
Sehingga
orang yang berilmu tidak akan mengingkarinya baik dari segi hukum maupun
kenyataan. Karena sebagaimana yang diungkapkan oleh Hasbie Ash Shidiqie (2011:
344) bahwa seluruh hukum penciptaan alam berdiri atas dasar keadilan Allah.
Dengan memperhatikan hukum- hukum alam akan terbukalah bagi kita tentang
keadilan Allah yakni dengan bukti adanya kesatuan (keharmonisan) hukum-hukum
alam. Hal ini juga diungkapkan oleh Quraish Shihab (2002: 200) ketika beliau
menafsirkan kata tafâwut pada ayat ketiga dalam Q.S al Mulk, seraya
berkata:
“Bahwa
Allah menciptakan langit- bahkan seluruh makhluk- dalam keadaan seimbang (adil)
sebagai rahmat karena seandainya ciptaan-Nya tidak seimbang, tentulah akan
terjadi kekacauan antara yang satu dan yang lainnya, dan ini pada gilirannya
mengganggu kenyamanan hidup manusia di pentas bumi ini.”
Selanjutnya
mengenai kata ûlûl‘ilmi
ini,
Al Maraghi (1946: 17) mengatakan bahwasannya orang yang berilmu ialah
orang-orang yang memiliki pembuktian dan mampu menjadikan argumentasinya
sebagai sandaran orang lain. Golongan seperti ini terdapat dalam umat ini dan
umat-umat sebelumnya.Sehingga Orang-orang berilmu ini semakin bertambah
ilmunya, maka bertambah pula kesaksiannya bahwa alam ini ada ber-Tuhan dan Tuhan ituhanya satu, yaitu Allah dan
tidak ada Tuhan
yang lain, sebab yang lain adalah makhluk-Nya belaka (Hamka, 2006: 179).
Kemudian
dalam ayat ini terdapat hal yang sangat menarik perhatian kita yaitu mengenai
kedudukan mulia yang diberikan Tuhan kepada ûlûl‘ilmi,
yakni orang-orang yang mempunyai ilmu di dalam ayat ini.Setelah Tuhan menyatakan kesaksian-Nya yang
tertinggi sekali, bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan kesaksian itu datang dari
Allah sendiri, maka Tuhan pun menyatakan pula bahwa kesaksian tertinggi itupun
diberikan oleh malaikat.Setelah
itu kesaksian itupun diberikan pula oleh orang-orang yang berilmu. Artinya
tiap-tiap orang yang berilmu, yaitu orang yang menyediakan akal dan pikirannya
buat meyelidiki keadaan alam ini, baik di bumi ataupun di langit, di laut dan
di darat, di binatang, di tumbuh-tumbuhan, niscaya manusia itu akhirnya akan
sampai juga, tidak dapat tidak kepada kesaksian yang murni, bahwa memang tidak
ada Tuhan melainkan Allah. Itulahpula sebabnya maka di dalam surat Fathir (35
ayat 28) tersebut, bahwa yang bisa merasai takut kepada Allah itu hanyalah
ulama, yaitu ahli-ahli ilmu pengetahuan.
Karakteristik
Ûlûl‘Ilmi
dalam Al Quran
Karakteryang
dalam bahasa arab sepadan dengan kata tha’biah (perangai, pembawaan), khuluq
(sifat yang telah mengakar kuat), serta khâshiyyah (sifat yang tidak
akan lepas serta yang dapat membedakannya dari yang lain). Sehingga keseluruhan
karakter ini dapat membentuk corak pemikiran serta perbuatannya (Mukhtar, 2008:
652). Sedangkan karakteristik itu tersendiri dapat diartikan sebagai sesuatu hal
yang membedakannya dengan yang lain.
Di
muka telah diuraikan bahwa dalam al Quran orang yang berilmu (ûlûl‘ilmi)
ialah seseorang yang memiliki suatu jenis pengetahuan manusia yang diperolehnya
melalui riset terhadap objek- objek yang empiris sehingga ia mengetahuinya
secara mendalam sampai menemukan hakikat ilmu tersebut.
Adapun
mengenai karakteristik orang yang berilmu (ûlûl‘ilmi)
dalam al Quran ialah sebagai berikut:
- Adanya perasaan takut kepada Allah Ta’ala, sebagaimana hal ini juga diungkapkan oleh Sa’ûd al ‘Imâdi (tt: 187), Ibn Musthafa (tt: 491), Abbas Ahmad (1419 H: 336), di mana mereka mengatakan bahwa rasa takut kepada Allah SWT merupakan salah satu ciri orang yang berilmu. Mereka mengambil dalil Q.S Fathir [35] ayat 28 sebagai berikut:
“Dan demikian
(pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak
ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Pengampun.”
Kata
khasyat di sini menurut pakar al Quran, al Ashfahani (dalam Quraish
Shihab, 2002: 62) memiliki makna rasa takut yang disertai penghormatan yang
lahir akibat pengetahuan tentang objek. Dilihat dari kontek rangkaian
penyebutannya, ayat ini didahului dengan penyebutan tanda-tanda kekuasaan Allah
yang berupa turunnya hujan yang kemudian menghasilkan buah-buahan dengan
berbagai warna dan rasa, gunung yang berwarna-warni dan perbedaan warna yang
ada pada bintang dan manusia.Suatu hal yang mengisyaratkan tingginya nilai ilmu
yang didasari atas pengamatan terhadap alam. Sungguh benar apa yang pernah
dikatakan Albert Einstein (dalam Quraish Shihab, 1997: 171-172) setelah ia
melakukan penelitian mengenai berkembangnya alam semesta ini yang dikenal
dengan istilah “The Expanding Universe”, seraya berkata:
“Tiada ketenangan dan
keindahan yang dapat dirasakan hati melebihi saat-saat ketika memperhatikan
keindahan rahasia alam raya.Sekali pun rahasia itu tidak terungkap, tetapi di
balik itu ada rahasia yang dirasa lebih indah lagi, melebihi segalanya, dan
jauh di atas bayang-bayang akal kita. Menemukan rahasia dan merasakan keindahan
ini tidak lain adalah esensi dari bentuk penghambaan.”
Hal
senada sebelumnya juga diungkapkan oleh al-Razi (1420 H: 236), seorang pakar
tafsir Alquran kenamaan.Ia mengomentari ayat di atas dengan mengatakan, “Semakin
dalam seseorang menyelami lautan ciptaan Tuhan semakin tahu ia akan kebesaran
dan keagungan-Nya.”
- Mengetahui, mengakui, serta memiliki keyakinan akan keesaan Allah Ta’ala. Karena ketika seseorang telah mengetahui hakikat suatu objek penelitiannya akan berakhir dengan ungkapan “Tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia” lalu tertunduk mengakui akan kekuasaan Allah SWT dan kebenaran yang dibawa oleh Nabi saw. Sebagai contoh ialah penelitian Dr. Arther J. Alison, ketua Departemen electrical and electronic di British University, yang dilakukandengan alat-alat elektronik selama 6 tahun mengenai fenomena orang mati dan orang tidur, menunjukkan adanya sesuatu yang keluar dari tubuh manusia ketika mati dan tidur. Pada orang mati, sesuatu itu tidak kembali lagi, sedangkan pada orang yang tidur sesuatu itu kembali lagi. Sebagai pemimpin lembaga parapsikologi dan spritualitas Inggris yang tertarik dengan kajian agama dan filsafat, ia diundang menjadi pembicara pada sebuah konferensi di Kairo. Dalam persiapan makalahnya, ia tertegun ketika membaca terjemahan al Quran surat az Zumar [39] ayat 42 yang menyebutkan fenomena di atas persis seperti hasil penelitiannya. Sehingga setelah selesai acara tersebut dia mengucapkan dua kalimat syahadat lalu berganti nama menjadi Abdullah Alison (LPTQ Jabar, 2011: 32).
- Senantiasa mengamalkan ilmunya dengan ikhlas. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw pernah bersabda:
“Manusia
akan berada dalam kehancuran kecuali mereka yang berilmu. Yang berilmu pun akan
binasa kecuali yang mengamalkan ilmu. Dan yang mengamalkannya juga akan binasa
kecuali mereka melakukannya dengan ikhlas.”
Namun
hadis ini dikategorikan sebagai hadis palsu (mawdhû`) oleh para pakar
hadis.Misalnya oleh Ibn Darwisy (1997: 309), Al-Syaukani (1407 H: 257). Menurut
Ibn Darwisy, hadis ini disebut oleh al-Samarqandi dalam bukunya Tanbîh
al-Ghâfilîn, dan sangat diminati oleh para kaum sufi. Buku ini, masih
menurutnya, banyak dipenuhi dengan hadis-hadis mawdhû`. Kendati
demikian penulis tetap mengutipnya, tetapi tidak dengan keyakinan bahwa
itu hadis Rasul, sebab kandungannya masih dapat ditolerir.
Demikianlah
penjelasan mengenai konsep ûlûl‘ilmi
dalam
al Quran yang penulis analisis melalui kajian semantik.
Referensi
Abbas, Abu
Ahmad. 1419 H. Bahrul Madid fi Tafsiril Quranil Majid.Kairo: Duktur
Hasan Abbas Zakki.
Al- Ashfahani,
ar- Raghib. tt. Mu’jam mufradat alfâzhul Quran.Beirut: Darul Fikr.
Al Bukhari.
tt. Shaahihul Bukhari jilid 2.Beirut: al Sya’bi.
Al Maraghi.
1946. Tafsir al Maraghi jilid 3. Beirut: Darul Fikr.
Al Syaukani. 1407 H.Al-Fawâ`id
al-Majmû`ah fi al-Ahâdîts al-Mawdhû`ah jilid 1.Beirut : Al-Maktab
al-Islami.
Ali, Abul
Hasan an Nadawi. 1981. Madza khasiral ‘alam bi inhithatil muslimin cet. 9. Kairo:
Maktabatul Iman.
Fahmi, Hamid Zarkasyi. 2004. Islam Sebagai Pandangan Hidup, dalam Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi di
Dunia Islam. Jakarta: Khairul Bayan.
Hamka. 2006. Tafsir al Azhar jilid 3. PT Pustaka
Panjimas: Jakarta.
Hasbie, Muh.
Ash-Shidiqie.2011. Tafsir an-Nuur jilid 2.Jakarta: Cakrawala Press.
Ibn, Haq Musthafa.tt.
Ruhul Bayan jilid 10.Beirut: Darul Fikr.
Ibn, Muhammad Darwisy.
1997.Asnâ al-Mathâlib fî Ahâdîts Mukhtalaf al-Marâtib jilid 1. Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
LPTQ Jabar.
2011. Maqra Musabaqah Fahmil Quran. Bandung: LPTQ Jabar: tidak
diterbitkan.
Mukhtar, Ahmad. 2008. Mujam Lughah
al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah Jilid 1. Kairo: ‘Alamul Kuttub.
. 2008. Mujam Lughah al-‘Arabiyyah
al-Mu’ashirah Jilid 2. Kairo: ‘Alamul Kuttub.
Qardhawi, Yusuf. 1993. Syari’atul Islam Shalihatun Li
Tathbiiqi Likulli Zamanin Wa Makanin. Kairo: Darus Shahwah.
Qarni, Aidh. 2006. Cahaya Zaman. Terj. Mujiburrahman Subadi Dan Al
Kattani Dari “Hakadza Hadatsana Zaman”. Depok: Al Qalam.
Quraish, Muh.
Shihab.2002. Tafsir al Misbah vol 14.Jakarta: Lentera Hati.
. 2002. Tafsir
al Misbah vol 11.Jakarta: Lentera Hati.
. 1996. Mukjizat
al Quran. Bandung: Mizan.
Sa’ûd,
Abu al ‘Imâdi. tt. Irsyadul ‘aqli Salim Ilaa Mazaya al Kitabil Karim jilid 9.
Beirut: Darul Ihyaut Turats.
Suherman,
A. 2012.Diktat Psikolinguistik.Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Arab
FPBS UPI: tidak diterbitkan.
Tafsir,
Ahmad. 2011. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Wan
Mohd, Nor Wan Daud.2003.Filsafat
dan Praktik Pendidikan Syed M Naquib Al Attas, Terj. Hamid Fahmi
Zarkasyi dkk.
Bandung: Mizan.
Warson,
Ahmad Munawwir. 1997. Kamus al Munawwir Arab- Indonesia Terlengkap.Surabaya:
Pustaka Progressif.
*Departemen Kajian Ilmiah PK HIMA Persis UPI '13
**) Disampaikan pada Kajian Gabungan yang diadakan oleh HIMA-HIMI Persis PK UPI 2013
*Departemen Kajian Ilmiah PK HIMA Persis UPI '13
**) Disampaikan pada Kajian Gabungan yang diadakan oleh HIMA-HIMI Persis PK UPI 2013