Oleh : Hilman Rasyid*
Akhir
minggu kemarin, tanggal 24 Februari 2013, merupakan hari yang paling
istimewa dan bersejarah bagi para calon Cagub dan Cawagub Jawa Barat.
Bagaimana tidak, Pemilihan Umum Kepala Daerah Jawa Barat sedang
sibuk-sibuknya digelar dan dianggap sebagai pesta rakyat Jabar yang
mencirikan satu kemajuan bagi perkembangan politik yang bersistem
demokrasi. Dengan bergelarnya pesta demokrasi ini, hampir pasti semua
orang dambakan perubahan bangsanya menuju yang lebih adil dan sejahtera.
Tidak mau tergerus arus zaman yang serba cepat yang menyayat hati
nurani bangsa.
Kalaulah tempo dulu pernah muncul pada
salah satu orde istilah ‘revolusi’, lalu berubah menjadi istilah
‘pembangunan’, dan hingga kini mencuat istilah ‘reformasi’. Maka kita
bisa sedikit menafsirkan bahwa setiap orde atau masa pemerintahan itu
mempunyai gairah zamannya masing-masing untuk bersama-sama membangun
kebangkitan Indonesia. Semua orang boleh berwacana. Juga gelisah kepada
perubahan yang inginnya membaik. Muak pada situasi politik yang semakin
kacau. Sangsi terhadap para politikus dan pemimpin partai politik yang
ternyata berbuat nista. Mereka berani melukai hati rakyat dengan
merampok uang Negara.
Dari hari jum’at kemarin misalnya
(22/02), kita semua kembali dikejutkan oleh salah satu pemimpin partai
politik besar yang tertuduh telah terjerumus ke dalam lubang hitam
(baca: korupsi). Tidak kalah hebatnya juga, bulan kemarin berbagai media
massa ramai membicarakan seorang pemimpin partai politik ‘Islam’ -yang
juga sama- terjebak pada kasus korupsi. Yasraf Amir Pilliang (2004)
mengungkapkan bahwa wajah demokrasi kita saat ini hanyalah demokrasi
citra (the image of democracy) yang tidak kalah jauh dengan
anarkisme. Seolah demokratis, ternyata anarkis. Seolah moralis, ternyata
amoralis. Demokrasi citra ini telah menjadikan batasan-batasa menjadi
kabur antara yang asli atau palsu, kebenaran atau kebohongan, beradab
atau biadab, penjahat atau penegak keadilan, dan lain sebagainya.
Sehingga
tidak aneh jika di tempat lain kita menemukan orang-orang yang malas
untuk memperbincangkan politik, karena mereka selalu kecewa pada para
pemimpin yang tidak bosen-bosennya mengumbar janji-janji pemanis tanpa
realisasi praksisnya. Mereka lebih baik memilih untuk mencari
penghidupan yang lebih layak daripada harus berjibaku memperjuangan dan
memilih pemimpin baru -khususnya untuk wilayah Jawa Barat sekarang ini-
yang dinilai tidak akan mempengaruhi kesejahteraan kehidupan mereka.
Kadang mungkin mereka menganggap bahwa makhluk yang bernama ‘politik’
apalagi ‘ideologi’ itu adalah racun, kotor dan menjijikkan.
Sudah
dimafhumi bersama bahwa Jawa Barat merupakan provinsi pertama di
Indonesia yang dibentuk dua hari kemudian setelah Ir. Soekarno
memproklamasikan kemerdekaan RI. Hal ini memperlihatkan adanya relasi
politis serta mempunyai pesan nilai akan ikatan emosional yang kental
dengan situasi politik yang ada di Ibu kota. Menariknya pula bahwa
perihal pilgub Jabar tahun 2013 ini sangat berdekatan dan
berkesinambungan dengan momentum Pilpres nasional tahun 2014 mendatang.
Sehingga tidaklah berlebihan jika kita berspekulasi bahwa pilgub Jabar
tahun 2013 ini merupakan barometer Pilpres nasional 2014 mendatang.
Oleh
karena itu, ketika proses kampanye dan pemilihan Cagub dan Cawagub
Jabar tahun ini telah banyak isu tentang suburnya praktik-praktik
politik transaksional, yang menurut Niccollo Machiavelli menghalalkan
segala cara untuk tetap berkuasa. Maka diharapkan pilgub ini mampu
menjadi pelajaran untuk melakukan totalitas pemantauan yang lebih baik
terhadap proses kampanye dan pemilihan presiden tahun 2014 mendatang.
Praktik-praktik kotor dan cara-cara tidak cerdas harus dilakukan
langkah-langkah preventif sedini mungkin. Karena hal ini akan mencederai
sistem demokrasi yang kita agung-agungkan selama ini.
Komisi
Pemilihan Umum (KPU) harus selalu bersikap professional, merdeka dan
independen. Bersamaan dengan itu, Badan Pengawas Pemilu harus selalu
siap memantau dan mengawasi jalannya pesta demokrasi dengan ketat.
Aliran dana, sumber, peruntukan dan pendistribusian calon harus jelas
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun di sisi lain,
langkah-langkah itu belumlah cukup ketika masyarakat masih “mata
duitan”. Maka diperlukan juga pencerdasan masyarakat lewat pendidikan
politik sebagai salah satu upaya untuk perbaikan budaya masyarakat dalam
memilih.
Maka peran signifikansi Orpol, Ormas, maupun
OKP menjadi penting keberadaannya dalam melakukan gerakan penyadaran dan
keinsyafan kepada masyarakat. Harus di ingat bahwa lebih baik kita
memilih pemimpin yang mempunyai moralitas tinggi khususnya untuk
pemimpin Indonesia ke depan -agar masyarakat makmur selama-lamanya (lima
tahun ke depan)-, daripada kita hanya memilih pemimpin yang licik dan
kotor yang hanya bisa kita rasakan kebahagiaanya yang sesaat.
*Mahasiswa PBA FPBS Universitas Pendidikan Indonesia '10
Ketua HIMA Persis PK UPI