HIMA PERSIS

qrcode

Selasa, 26 Februari 2013

Belajar pada Pemilukada Jawa Barat 2013

 Oleh : Hilman Rasyid*

Akhir minggu kemarin, tanggal 24 Februari 2013, merupakan hari yang paling istimewa dan bersejarah bagi para calon Cagub dan Cawagub Jawa Barat. Bagaimana tidak, Pemilihan Umum Kepala Daerah Jawa Barat sedang sibuk-sibuknya digelar dan dianggap sebagai pesta rakyat Jabar yang mencirikan satu kemajuan bagi perkembangan politik yang bersistem demokrasi. Dengan bergelarnya pesta demokrasi ini, hampir pasti semua orang dambakan perubahan bangsanya menuju yang lebih adil dan sejahtera. Tidak mau tergerus arus zaman yang serba cepat yang menyayat hati nurani bangsa.

Kalaulah tempo dulu pernah muncul pada salah satu orde istilah ‘revolusi’, lalu berubah menjadi istilah ‘pembangunan’, dan hingga kini mencuat istilah ‘reformasi’. Maka kita bisa sedikit menafsirkan bahwa setiap orde atau masa pemerintahan itu mempunyai gairah zamannya masing-masing untuk bersama-sama membangun kebangkitan Indonesia. Semua orang boleh berwacana. Juga gelisah kepada perubahan yang inginnya membaik. Muak pada situasi politik yang semakin kacau. Sangsi terhadap para politikus dan pemimpin partai politik yang ternyata berbuat nista. Mereka berani melukai hati rakyat dengan merampok uang Negara.

Dari hari jum’at kemarin misalnya (22/02), kita semua kembali dikejutkan oleh salah satu pemimpin partai politik besar yang tertuduh telah terjerumus ke dalam lubang hitam (baca: korupsi). Tidak kalah hebatnya juga, bulan kemarin berbagai media massa ramai membicarakan seorang pemimpin partai politik ‘Islam’ -yang juga sama- terjebak pada kasus korupsi. Yasraf Amir Pilliang (2004) mengungkapkan bahwa wajah demokrasi kita saat ini hanyalah demokrasi citra (the image of democracy) yang tidak kalah jauh dengan anarkisme. Seolah demokratis, ternyata anarkis. Seolah moralis, ternyata amoralis. Demokrasi citra ini telah menjadikan batasan-batasa menjadi kabur antara yang asli atau palsu, kebenaran atau kebohongan, beradab atau biadab, penjahat atau penegak keadilan, dan lain sebagainya.

Sehingga tidak aneh jika di tempat lain kita menemukan orang-orang yang malas untuk memperbincangkan politik, karena mereka selalu kecewa pada para pemimpin yang tidak bosen-bosennya mengumbar janji-janji pemanis tanpa realisasi praksisnya. Mereka lebih baik memilih untuk mencari penghidupan yang lebih layak daripada harus berjibaku memperjuangan dan memilih pemimpin baru -khususnya untuk wilayah Jawa Barat sekarang ini- yang dinilai tidak akan mempengaruhi kesejahteraan kehidupan mereka. Kadang mungkin mereka menganggap bahwa makhluk yang bernama ‘politik’ apalagi ‘ideologi’ itu adalah racun, kotor dan menjijikkan.

Sudah dimafhumi bersama bahwa Jawa Barat merupakan provinsi pertama di Indonesia yang dibentuk dua hari kemudian setelah Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI. Hal ini memperlihatkan adanya relasi politis serta mempunyai pesan nilai akan ikatan emosional yang kental dengan situasi politik yang ada di Ibu kota. Menariknya pula bahwa perihal pilgub Jabar tahun 2013 ini sangat berdekatan dan berkesinambungan dengan momentum Pilpres nasional tahun 2014 mendatang. Sehingga tidaklah berlebihan jika kita berspekulasi bahwa pilgub Jabar tahun 2013 ini merupakan barometer Pilpres nasional 2014 mendatang.

Oleh karena itu, ketika proses kampanye dan pemilihan Cagub dan Cawagub Jabar tahun ini telah banyak isu tentang suburnya praktik-praktik politik transaksional, yang menurut Niccollo Machiavelli menghalalkan segala cara untuk tetap berkuasa. Maka diharapkan pilgub ini mampu menjadi pelajaran untuk melakukan totalitas pemantauan yang lebih baik terhadap proses kampanye dan pemilihan presiden tahun 2014 mendatang. Praktik-praktik kotor dan cara-cara tidak cerdas harus dilakukan langkah-langkah preventif sedini mungkin. Karena hal ini akan mencederai sistem demokrasi yang kita agung-agungkan selama ini.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus selalu bersikap professional, merdeka dan independen. Bersamaan dengan itu,  Badan Pengawas Pemilu harus selalu siap memantau dan mengawasi jalannya pesta demokrasi dengan ketat. Aliran dana, sumber, peruntukan dan pendistribusian calon harus jelas sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun di sisi lain, langkah-langkah itu belumlah cukup ketika masyarakat masih “mata duitan”. Maka diperlukan juga pencerdasan masyarakat lewat pendidikan politik sebagai salah satu upaya untuk perbaikan budaya masyarakat dalam memilih.

Maka peran signifikansi Orpol, Ormas, maupun OKP menjadi penting keberadaannya dalam melakukan gerakan penyadaran dan keinsyafan kepada masyarakat. Harus di ingat bahwa lebih baik kita memilih pemimpin yang mempunyai moralitas tinggi khususnya untuk pemimpin Indonesia ke depan -agar masyarakat makmur selama-lamanya (lima tahun ke depan)-, daripada kita hanya memilih pemimpin yang licik dan kotor yang hanya bisa kita rasakan kebahagiaanya yang sesaat.

*Mahasiswa PBA FPBS Universitas Pendidikan Indonesia '10

Ketua HIMA Persis PK UPI

Calon Guru Berbicara Tentang Guru Profesional

 Oleh: Hilman Rasyid*

Hari ini, Selasa 26 Februari 2013, saya sedikit merasakan tentang sulitnya untuk menjadi guru. Bukan guru yang hanya bisa memberikan ilmu, melainkan menjadi guru yang profesional. Profesional? Bagi saya, salah satu titik indikator untuk menilai tingkatan keprofesionalan guru bisa dilihat dari tahapan perencanaan, eksekusi, dan evaluasi atau hasil dalam mengajar. Guru yang ideal atau profesional adalah guru yang mampu menapaki ketiga tahapan tersebut dengan baik dan maksimal.

Pertama, perencanaan. Perencanaan di sini dalam arti berbetuk Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau RPP. Hari ini saya belajar bahwa membuat RPP itu bukan hanya tidak mudah melainkan harus teliti, sistematis dan tidak boleh asal-asalan. Karena harus sesuai dengan alur materi serta target pencapaian yang diinginkan. Perencanaan inilah yang nantinya akan menentukan proses pembelajaran di kelas. Bagi saya, perencanaan itu sangatlah penting sama pentingnya dengan memakai baju dengan rapi sebelum pergi keluar rumah. Perencanaan inilah yang nantinya harus kita eksekusi atau implementasikan di kelas. Karena perencanaan tanpa eksekusi adalah sebuah lamunan dan eksekusi tanpa perencanaan adalah mimpi buruk. Pada titik inilah peran penting yang pertama yang harus dilakukan oleh seorang guru. Namun, jika kita korelasikan dengan kurikulum 2013. Sangat disayangkan memang ketika kurikulum 2013 sedikit berkehendak lain.

Penyusunan dan perancangan silabus tidak akan dibuat oleh setiap guru dan sekolah, namun disusun dan dibuat oleh pihak pemerintah pusat langsung yang dalam hal ini juga oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal ini sama dengan ketika Kurikulum 1975 hingga Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004. Silabus sudah disiapkan kementerian sehingga guru tinggal menyusun RPP. Hal inilah menjadi persoalan yang sangat krusial. Penyusunan dan perancangan silabus oleh setiap guru akan lebih baik ketimbang oleh pihak yang tidak tahu kondisi sebenarnya.

Kita tahu bahwa silabus adalah sebuah rencana pembelajaran pada suatu mata pelajaran tertentu yang di dalamnya mencakup berbagai aspek kegiatan dan rancangan. Silabus yang baik adalah silabus yang sesuai dengan kondisi sekolah dan potensi daerah masing-masing yang dalam hal ini diberikan kewenangan pada sekolah untuk mengambil keputusan berkenaan dengan pengelolaan pendidikan. Sehingga mau tidak mau, seorang guru harus siap dan mampu membuat silabus yang baik sesuai dengan kondisi dan tujuannya. Di sinilah kewenangan signifikansi seorang guru. Ia harus dilatih dan dibina untuk membuat silabus dan RPP yang ideal sesuai dengan kondisi yang ada.

Baiklah kalau Kemendikbud sudah bertindak tegas dan percaya diri, kita hanya rakyat kecil yang hanya bisa berusaha dan berdoa tanpa memiliki sebuah kekuasaan. Kita tidak boleh tenggelam dalam kekecewaan itu. Simpan sedikit kekecewaan dan keraguan itu untuk menjadi saksi perjuangan kita selama ini tiada lain dan tiada bukan hanya untuk berusaha bersama dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Kemendikbud kita terlihat yakin sekali dengan kurikulum 2013 ini, sehingga mau-tidak mau kita juga harus yakin karena mungkin saja ada beberapa hal yang belum sama sekali kita ketahui dan kita mengerti, sebagai calon guru.

Kedua, eksekusi praksis (baca: implementasi). Berbicara tentang eksekusi itu tidak terlepas dari kemampuan dari aktor utama itu sendiri dalam melakukannya. Aktor utama yang dalam hal ini adalah guru.  Tahapan ini merupakan sebuah proses yang utama dalam pembelajaran. Karena sebagus dan seideal apapun sebuah perencanaan baik itu Silabus dan RPP, kalaulah seorang guru tidak mengerti akan perencanaannya itu serta tidak mampu ber-retorika dengan baik, maka rancangan perencanaan itu hanyalah mimpi indah belaka. Sehingga retorika seorang guru inilah yang nantinya akan menentukan tingkatan kepahaman para peserta didik terhadap materi yang diajarkannya.

Tentu tahapan ini adalah tergantung bakat naluritas atau mungkin bakat ini bisa muncul juga lewat pelatihan atau dalam sertifikasi guru. Guru bukan hanya harus mampu berbicara di depan kelas, melainkan ia harus mampu bercakap dengan baik dan jelas sesuai alur sistematika serta metode yang ada dalam perencanaan. Pepatah mengatakan bahwa ketika seorang guru akan mengajar 1 jam, maka ia harus belajar 3 jam terlebih dahulu. Dalam pepatah ini ada sebuah korelasi vertikal terkait pentingnya sebuah perencanaan bagi seorang guru sebelum ia terjun ke lapangan yang nyata.

Ketiga, Evaluasi. Evaluasi merupakan tahapan penilaian yang perannya tidak kalah penting dengan tahapan di atas. Karena pada titik ini, seorang guru bukan hanya bisa menilai baik atau buruknya kemampuan para peserta didik, melainkan pada titik ini juga seorang guru mampu mengetahui kekurangannya dalam mengajar. Baik buruknya retorika seorang guru ketika mengajar di kelas dapat dilihat dari tahapan ini.

Namun ini juga tidak bisa menentukan penuh dalam mengevaluasi seorang guru dan murid. Mungkin saja hasil evaluasi dari seorang siswa itu jelek karena retorika guru yang kurang dimengerti atau tidak menjangkau ke seluruh siswa. Juga mungkin saja hasil evaluasi seorang guru jelek, karena mayoritas muridnya yang selalu acuh atau sulit mengerti karena mungkin ada banyak masalah pada psikologinya. Oleh karena itu, seorang guru atau ketika kita menjadi guru maka kita harus melihat dari 2 sisi itu secara objektif. Apalagi jika hasil evaluasi itu nilai semua peserta didiknya buruk. Sungguh hal yang konyol ketika seorang guru menilai hanya dari satu sisi saja, yaitu hasil belajar dari peserta didik itu tanpa melihat baik atau buruk retorikanya dalam mengajar.

Mungkin itulah sedikit catatan dari seorang calon guru atau calan S.Pd (joking: Sarjana Pemberian Dosen) yang mencoba berbicara tentang guru profesional. Guru adalah aktor utama dalam pembelajaran di sekolah. Untuk menjadi guru yang profesional itu tidaklah mudah. Sebagai calon guru, maka mari kita hormati guru-guru kita dan mari kita berusaha untuk menuju guru yang profesional. Karena menurut saya, pada hakikatnya guru itu haruslah profesional. Guru mengajar Indonesia. Lalu, Salam Indonesia Mengajar!

*Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia’10
Ketua HIMA Persis PK UPI