HIMA PERSIS

qrcode

Jumat, 21 Desember 2012

“Sekolah Bubarkan saja!” Katanya

“Sekolah Bubarkan saja!” Katanya
Oleh : Hilman Al-Rasyid*

“Semua yang kita lakukan bukan hanya karena suka atau tidak suka, nyaman atau tidak nyaman, tetapi apa yang kita lakukan itu karena suatu nilai yang kita inginkan. Walaupun kemanfaatannya kita rasakan, tetapi jika tidak sesuai dengan nilai, apalah artinya?”
-Kaum Pragmatis-

Di zaman postmodernitas ini, untuk apa sebenarnya kita sekolah? Karena kita tahu banyak orang yang sukses tanpa sekolah. Lihatlah Buya Hamka dan Adam Malik mereka orang yang sukses dengan otodidak, bahkan Thomas A. Edison yang dipecat dari sekolah karena dianggap bodoh, ternyata bisa menemukan ribuah hasil penemuannya. Siapa yang menyangka bila pabrik raksasa pencetak manusia bernama sekolah yang selalu dikultuskan negara sebagai institusi pendidikan formal yang meniscayakan kualitas siswa yang unggul dan berkompetensi, justru terjadi paradoksal antara apa yang dipelajari dengan apa yang terjadi pada realitasnya, bahkan termasuk salah satu tempat pembunuhan karakter manusia. Sehingga demikian, apa tidak sebaiknya sekolah itu dibubarkan saja?
   
Mungkin itulah beberapa pertanyaan dan keresahan manusia tentang sekolah. Seperti keresahan Chu-dhiel dalam bukunya yang berjudul “Sekolah Dibubarkan Saja!.” Ia berpendapat dengan gagasannya yang kritis bahwa sekolah merupakan institusi pendidikan formal yang hanya menjebak orang-orang untuk masuk ke dunia penuh khayalan karena mereka hanya disibukkan dengan belajar di kelas sembari membayangkan hal-hal yang mereka pelajari tanpa adanya aktualisasi diri di masyarakat ke depannya. Sekolah hanyalah institusi kapitalis yang menciptakan peraturan-peraturan aneh (seperti adanya seragam, jadwal belajar, dan cara belajar) yang terkadang bagi sebagian rakyat miskin, justru hanya akan menimbulkan petaka berupa kesia-siaan belaka tanpa makna.

Sebelum kita mengkritisi argumentasinya yang kontroversial, kita harus tahu terlebih dahulu apa sebenarnya penyebab ia berpendapat seperti di atas? Ternyata salah satu akar penyebabnya adalah bahwa sekolah selama ini cenderung hanya mengutamakan aspek kognitif tanpa mempertimbangkan aspek afektif dan psikomotorik. Serta selama ini sekolah hanyalah institusi eksklusif yang coba mengotak-ngotakkan golongan tertentu lantaran sekolah memang butuh biaya dan pada akhirnya kaum miskin pun hanya disuruh “gigit jari”. Dengan demikian, sekolah pun terkesan feodal bagi siswa.

Mengkritisi Sekolah
Memang hingga hari ini, sekolah mempunyai wajah buram seperti di atas. Kemudian jika sedikit melihat dari kacamata Mazhab Pendidikan Kritis, tentu tidak boleh ada ambiguitas, paradoksal dan ketidak-konsistenan antara apa yang dikonstruksi secara normatif dengan praktek di lapangan. Namun fakta menunjukkan bahwa sekolah seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu, kontradiktif dan paradoks. Di satu sisi, sekolah dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun terkadang pada prakteknya justru bertindak otoriter dan bahkan anti-demokrasi dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subjek yang kritis, toleransi dan multikulturalisme. Sekolah juga punya slogan “mencerdaskan anak bangsa”, tapi pada prakteknya hanya untuk anak bangsa yang punya modal besar dan para kapitalis. Sekolah juga punya visi untuk menjungjung tinggi persamaan derajat dan anti-diskriminasi, tapi pada prakteknya tidak mengakomodasi kelompok minoritas, terutama kaum difabel.

Paulo Freire, salah satu tokoh mazhab pendidikan kritis berpendapat bahwa sekolah yang ideal adalah sekolah yang menekankan pada progresivitas atau kemajuan. Dia juga termasuk salah satu tokoh pendidikan barat yang ingin merubah wajah pendidikan ke arah dunia baru yang lebih baik. Lebih menariknya lagi, dia memberikan catatan penting bahwa sekolah dianggap baik dan berkualitas apabila ditopang oleh suasana dan keadaan yang sangat menarik minat anak didik untuk betah jika berada di sekolah (feel at home). Sekolah merupakan rumah kedua yang selalu memberikan keteduhan dan kesejukan sehingga membuat sekolah bukan layaknya penjara yang penuh pembebanan.

Dengan aturan sekolah yang begitu rigid dan detail, mulai jam masuk hingga pulang, kurikulum sekolah yang padat dan sumpek serta pelbagai buku yang harus bahkan wajib dibeli, justru akan menyebabkan mereka terbebani. Suatu kondisi yang ironis, jika lembaga pendidikan yang bernama sekolah itu selalu melahirkan konstruksi berfikir anak didik yang eksploitatif bahkan mengarah pada dehumanisasi sehingga sekolah hanya mampu memproduksi barang setengah jadi. Ini juga bisa menjadi salah satu peluru bahwa sekolah sudah tidak diperlukan lagi.

Sebenarnya di sinilah letak pentingnya sikap kritis kita, bahkan mungkin kita bisa sedikit mengkritisi teori pendidikan kritis di atas yang terlihat liberalistis. Namun kita bisa mengambil pelajaran positif dari teori tersebut dengan mengedepankan norma-etis yang terdapat dalam Islam. Artinya ketika teori pendidikan kritis berkata bahwa sekolah harus menjadi rumah kedua, tentu teori ini bisa kita ambil jika ada sebuah konsep yang jelas, karena dikhawatirkan anak didik akan merasa malas karena kenyamanan itu. Namun ketika teori pendidikan kritis berkata bahwa guru dan murid adalah sama-sama subjek, tentu hal ini tidak bisa kita terima. Karena dikhawatirkan ada sebuah penyimpangan moral dari murid terhadap sang guru. Sehingga, ada saatnya murid menjadi objek dan ada saatnya murid menjadi subjek.

Sekolah Tidak Diperlukan lagi; Pragmatisme Pendidikan
Kita tahu bahwa Pragmatisme adalah kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dll) bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia. Pragmatisme mengajarkan kita sebuah pendekatan terhadap masalah hidup apa adanya dan secara praktis, bukan teoritis atau ideal dan kemudian hasilnya dapat dimanfaatkan. Pragmatis dapat lahir sebagai tanggapan kekecewaan terhadap kenyataan hidup yang ada. Mereka selalu berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan secara instan, praktis, karena dalam otak masyarakat pragmatisme telah dihinggapi oleh penyakit matrealisme.

Tujuan pendidikan bukanlah untuk mencari selembar kertas bernama Ijazah, bukan juga untuk mencari point diatas kertas dan bukan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja serta kesuksesan sebuah proyek semata. Kalaulah itu tujuannya, maka terlalu banyak waktu dan biaya yang kita habiskan. Apalagi sekarang kita hidup di era modern, sudah banyak media informasi dan pengetahuan berupa internet, majalah, televisi, radio dan berbagai media pembelajaran yang lebih murah meriah bahkan gratis. Maka ini merupakan salah satu peluru bagi si pragmatis untuk mendapatkan pembenaran, ‘bahwa tidak perlunya sekolah’.

Berdasarkan hasil analisis faktual bahwa penyebab utama anak-anak berhenti sekolah karena kurangnya motivasi anak untuk pergi sekolah. Hal ini dipicu oleh sistem pendidikan dan kurikulum yang tidak menarik bagi siswa. Mereka lebih memilih untuk bekerja yang lebih konkret dan langsung mendapatkan hasil daripada pergi ke sekolah yang merasa tidak ada manfaat yang didapatkan dan hanya akan menghabiskan waktu. Mereka tidak tertarik dengan pelajaran-pelajaran di sekolah karena terlalu sulit dan membosankan. Sehingga sungguh ironis ketika para mahasiswa pertanian harus menunggu sampai kuliah untuk belajar bertani, tetapi anak-anak yang tidak ingin sekolah telah belajar hal itu ketika mereka berumur 10 tahun. Sungguh kekeliruan yang sangat luar biasa dalam sistem pendidikan di negeri ini!

Wajah kontras-paradoksal di atas tentu harus segera dibenahi, yang tentunya agar wajah kualitas sekolah semakin dipercaya, sehingga tidak terjadi sindiran kritis dari publik terkait sekolah seperti “Sekolah itu candu” karya Roem Topatimasang, “Orang miskin dilarang sekolah” karya Eko Prasetyo, “Sekolah dibubarkan saja!” karya  Afdhillah dan lain-lain.

Dengan demikian, keresahan dan sindiran yang nyata di atas perlu dirubah ke arah yang lebih baik dan positif. Meskipun paradigma publik tentang sekolah telah mengakar sejak lama hingga telah kotor dihinggapi oleh indoktrinasi yang memang realistis terjadi di sekolah. namun adalah sebuah ironis jika kita hanya bisa memberikan keresahan dan sindiran tanpa adanya sebuah alternatif untuk mengembalikan wajah sekolah yang lebih positif. Kita harus berusaha merubah paradigma publik misalnya dengan menjadi pendidik yang tidak hanya mementingkan aspek kognitif serta mengetahui teori dan prakteknya di lapangan. Sehingga sekolah tidak menampakkan wajahnya yang paradoksal dan ambiguitas. Atau bisa juga dengan cara membuat buku, tulisan, dan media lainnya yang berisi teori praktis dan usaha untuk merubah wajah sekolah ke arah yang lebih baik. Wallahu a’lam


Sumber Bacaan :
Diskusi Kementerian Pendidikan BEM REMA UPI dan pengurus lainnya
Afdhillah (Chu-diel). (2010). Sekolah Dibubarkan Saja!. Yogyakarta: Insist Press (Internet)
Moh. Yamin. (2009). Menggungat Pendidikan Indonesia. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Nuryatno, Agus. (2011). ­Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book


*Ketua Umum HIMA Persis PK UPI ‘12
Staff Kajian Pendidikan Kementerian Pendidikan BEM REMA UPI ‘12

Minggu, 21 Oktober 2012

Terapi Dinamika Organisasi dengan Infaq dan Shabar

dok. pribadi
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS.Ali-Imran :134)

                Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa sedetikpun melepaskan bantuan dari orang lain, semua yang kita makan,minum, pakai, lihat pasti ada orang lain yang berperan didalamnya. dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang kita mendapati orang lain membantu pekerjaan kita ataupun sebaliknya, kita membantu pekerjaan orang lain. namun dalam dinamika sosial, hubungan individu dengan individu yang lain tidak selamanya baik, kadang kita mendapatkan ketidak se-pahaman dengan orang lain yang membuat kita kadang merasa jengkel berujung marah. Begitu pula orang lain, kadang karena perbuatan kita, banyak orang merasa risih dan terganggu, baik disadari atau tidak sama sekali. Begitu pula dengan hal menyangkut perekonomian, keadaan ekonomi seseorang tidak selalu cukup dn tidak selamanya kurang asal ia mau berusaha, kita sering sekali menemukan orang-orang menengadahkan tangan di perempatan jalan untuk sesuap nasi, juga banyak orang yang berlomba-lomba memberikan harta terbaiknya untuk menolong kehidupan sesama, hal ini tentu merupakan dari ragam warna kehidupan yang menuntut kita mampu memilih sikap sesuai keadaan.


                Allah Swt dalam wahyu yang Ia turunkan melalui Jibri As kepada Nabi Muhammad Saw memberikan arahan langsung apa yang harus kita perbuat dalam dahsyatnya gelombang pergaulan manusia. Allah mengajarkan kepada kita untuk meng-infaq-kan harta kita baik dalam keadaan lapang maupun sempit  dan menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain sebagaimana yang telah saya kutip dari ayat al-Qur’an diatas.


                Al-Maraghi menuliskan dalam kitabnya bahwa melakukan infaq dalam dua kondisi, yaitu mudah dan sempit menunjukan ketaqwaan (al-Maraghi juz IV:117), kita bisa mengeluarkan infaq bergantung pada kemampuan kita, kita bisa memberikan infaq kepada pengamen di Bus Damri saat kita pulang sekolah, membayar infaq bulanan atau biasa kita kenal dengan Uang Kas, memberikan ongkos lebih kepada Mang Becak yang bersedia mengantarkan kita tepat di depan sekolah, atau mentraktir makan siang teman yang membawa bekal pas-pasan dengan niat semata-mata karena Allah Swt.


                Dalam menyikapi sifat manusia yang kadang tidak sesuai dengan kepribadian kita pun Allah Swt telah memberikan arahanya kepada kita untuk senantiasa bisa bersabar dan memberi maaf kepada orang lain. Orang yang menahan dan mengekang perasaan amarahnya, tidak mau melampiaskan, sekalipun hal itu bisa saja ia lakukan merupakan perbuatan yang jarang bisa dilakukan oleh setiap orang (al-Maraghi Juz IV:121). Setiap hari kita disibukan dengan situasi yang kadang kala menguras kesabaran kita, lalu lintas yang  macet, pengendara lain yang menabrak dari belakang, teman yang sulit sekali mengerti saat kita menjelaskan materi dalam tugas kelompok, teman yang mengobrol pertandingan bola semalam padahal guru sedang seru menjelaskan bab fluida saat pelajaran fisika, atau amanah kepanitiaan yang begitu banyak sampai-sampai kita sibuk oleh sms undangan rapat yang mengganggu jam tidur siang. Semua ini bisa kita lalui dengan perasaan senang tentu jika kita melewatinya dengan kesabaran. Belum lagi kesabaran akan meningkatkan derajat kita jauh diatas orang-orang yang tidak bisa menahan emosinya.


                Dalam sisa umur kita yang kian hari kian berkurang kita bersama bertekad untuk meningkatkan kesabaran, kepekaan sosial kita dengan berinfaq dalam keadaan lapang dan sempit dengan niat semata-mata karena Allah, berharap kita bisa masuk dalam golong orang-orang yang dicintai-Nya, masuk kedalam surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan. Mulailah dari hal yang terkecil, karena sesuatu yang besar dimulai dengan hal yang kecil dan kehidupan sukses dimasa depan dimulai dari hari ini.(Trias, 2012) 

Sabtu, 20 Oktober 2012

Basa-basi masa orientasi


sumber : google.com
Ada suatu budaya yang berkembang di tataran lingkungan kampus saat penerimaan mahasiswa baru di setiap universitas, baik itu penyambutan oleh kakak angkatan atau ‘penyambutan’ yang bisa dibilang kuno, malah terkesan primitif bagi pola fikir seorang mahasiswa.  Betapa tidak, di peralihan era informasi menuju era konseptual ini banyak mahasiswa yang masih berfikiran jumud, atau tidak berfikir out of the box, masih mengimplementasikan nilai-nilai kekerasan bertopeng kedisiplinan, dan perkataan kotor berdalih ketahanan mental.
                Hampir genap dua tahun saya duduk sebagai mahasiswa, menyaksikan berbagai jenis masa orientasi yang diterapkan, mulai dari pola wawancara yang menerapkan prinsip egaliterianisme, begitu santun kaka tingkat bertanya pada adik kelas barunya, juga yang muda begitu hormat menjawab pertanyaan kaka tingkatnya. Pada keadaan yang lain, mahasiswa baru menunduk dengan perasaan ‘takut’ sembari menyanyi plus topi segitiga diatas kepalanya  ditambah barang bawaan yang lebih dari normal. Tampaknya model orientasi seperti ini lebih familiar di ingatan kita, bagaimana mereka harus membawa ‘ minuman tujuh turunan’ ditambah ‘piramid’, datang pagi sekali, lalu tiba di lokasi siap-siap untuk disentak tanpa alasan yang masuk akal.
                Sebagai seorang mahasiswa, saya berfikir, lantas apa differensiasi antara siswa dan mahasiswa? para siswa di SMA melakukan masa orientasi yang modelnya hampir sama dengan kejadian diatas, bukan konten acaranya, tetapi substansi dari konten acara tersebut yang lebih mengarah pada pemerkosaan hak-hak siswa atau mahasiswa baru. Pernah terlintas dalam diri saya, ternyata para kakak angkatan memberikan model orientasi seperti itu agar menimbulkan kesan bagi adik tingkatnya, dan ternyata hal itu benar, mayoritas adik tingkatnya merasa berkesan, tentu kesan buruk kepada kakak angkatan. Darimana saya bisa katakan hal itu? Mari cermati bersama, mengapa pola orientasi dari tahun ke tahun hampir sama dan cenderung tetap seperti yang kita lihat? Hal itu karena ada kesan kurang baik pada adik kelas pada kaka tingkatnya dulu, oleh sebab itu angkatan yang telah merasakan masa orientasi ‘melampiaskan’ hal yang sama pada adik kelasnya. Hal ini akan berakibat fatal bagi paradigma awal para mahasiwa yang seolah di didik untuk menjaga warisan budaya sentak-sengor(sunda:menyentak dengan kasar).
                Masa Orientasi mahasiswa baru harus diperlakukan sebagai Instrumen kaderisasi yang efektif juga jitu memecah perbedaan angkatan, senioritas juga batas pertemanan. Islam telah mengajarkan kepada kita agar memperlakukan yang kecil dengan kasih sayang, dan memperlakukan yang lebih tua dengan rasa hormat. Sebagai seorang muslim, sudah cukuplah bagi kita menjadikan hal ini sebagai basis masa orientasi, menghargai mahasiswa baru sebagai manusia yang merdeka, tanpa ada kekangan senioritas, dinding keangkuhan usia, atau sebuah hegemoni angkatan yang terkesan menjelma menjadi sebuah kekuatan tangan besi.
                Dari kesadaran diatas, sudah sepantasnya bagi kita bersikap objektif dalam menyikapi sesuatu, tanpa embel-embel pembelaan pada kawan dekat atau kelompok tertentu, atau sebuah pemikiran ketakutan kalah pengaruh. Sudah saatnya bagi kita keluar dari berbagai macam kejumudan pola fikir, keluar dari alasan hukuman push-up sebagai alasan untuk olahraga dan kesehatan, padahal kita tahu olahraha yang menyehatkan itu bukan satu atau dua kali, tetapi harus rutin dengan frekuensi yang ditentukan. Sudah tiba waktunya bagi para mahasiswa merasa senang dengan pengumuman akan ada masa orientasi dikarenakan para kaka tingkat yang welcome menerima adik tingkatnya secara tulus dan ikhlas mendidik, seperti halnya petani yang merawat tanamanya agar tumbuh subur juga besar.
                Tulisan ini bukan saya maksudkan untuk sekedar curahan hati atau malah provokasi, tulisan ini semata-mata ingin membuka  pola fikir kita bersama menuju masa depan yang lebih baik, karena dengan sebuah harapan dan optimisme kita akan menjalani masa depan yang cerah bersamaan, masa depan yang diberkahi, penuh dengan kebahagiaan dan kekompakan.

Minggu, 13 Mei 2012

Quo Vadis Pendidikan Indonesia


Quo Vadis Pendidikan Indonesia
Oleh : Hilman Rasyid*

“Tidak mungkin negara Indonesia maju tanpa disiplin”
-Popong otje djundjunan (Anggota Komisi X DPR RI)

Di tengah kebobrokan dan kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian yang tanpa peduli sesama, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis religius menjadi relevan untuk diterapkan. Pendidikan karakter ala foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme yang dipelopori oleh filusuf Prancis Auguste Comte.

Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Kebiasaan berfikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Kebanyakan guru hanya mengajarkan apa yang harus dihafalkan. Mereka membuat peserta didik menjadi “beo” yang dalam setiap ujian cuma mengulangi apa yang dikatakan guru. Jika kita melihat sejarah, ternyata sikap pasif dan adaptif terhadap teks (buku pelajaran) dipengaruhi oleh gelombang budaya positivisme yang lahir dari rahim kapitalisme yang mengakibatkan terjadinya degradasi fakultas kritis para peserta didik. Akibatnya peserta didik hanya akan menerima apa adanya, tanpa reserve, dan tanpa kritik. Mirisnya lagi, dunia pendidikan kita masih sibuk berkutat dengan problematika internalnya seperti penyakit dikotomi, profesionalitas pendidiknya, sulit meratanya pendidikan, sistem pendidikan yang masih lemah, pendidikan dikomersialisasikan dan sebagainya.

Melirik Problematika Pendidikan
Dunia pendidikan kita sepertinya telah melupakan tujuan utama pendidikan, karena dilihat dari semakin menyimpangnya dari tujuan pendidikan. Kita ketahui bahwa problematika pendidikan merupakan suatu kendala yang akan menghambat dan menghalangi tercapainya tujuan pendidikan. Kita ambil saja salah satu kebijakan yaitu sistem Ujian Nasional (UN); suatu kebijakan yang sudah menjadi kontroversi. Dengan adanya kebijakan bahwa tolak ukur kelulusan ditentukan hanya dari nilai UN tanpa melihat sebuah proses dan nilai lain, maka pendidikan telah dijadikan layaknya sebuah mesin yang hanya mencetak para peserta didik yang pintar tapi tidak bermoral dan pragmatis yang kemudian menjadi para penganggur. Sehingga, kebijakan UN ini sangat bertentangan sekali dengan wacana pendidikan berbasis karakter dan budaya.

Kemudian aksesibilitas pendidikan yang ternyata sangat sulit dilakukan hingga ke pelbagai pelosok di Indonesia. Menurut Popong otje djundjunan (Anggota Komisi X DPR RI), -sewaktu penulis berdiskusi dengan beliau pada hari kamis (3/5)- bahwa sulitnya pemerataan pendidikan disebabkan 2 kondisi; pertama, kondisi fisik Indonesia yang secara geografis mempunyai sekitar 17.000 pulau, sehingga aksesibilitas pendidikan sulit merata. Kedua, kondisi non fisik yang tentunya dilihat dari sistem pendidikan di Indonesia yang masih lemah. Banyak juga para pejabat dalam sektor pendidikan yang tidak dan bukan orang yang menguasai pendidikan. Sehingga kita bisa lihat faktanya, bahwa pendidikan kita telah keluar dari jalan yang sebenarnya bahkan kehilangan arah.

Jika kita lihat aksesibilitas pendidikan dari segi anggaran, yang faktanya banyak dana/anggaran pendidikan yang tidak tepat sasaran dan entah masuk ke rekening siapa. Faktanya, meskipun dibantu dengan adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang menjadi sebuah tindakan solusi emergency, masih banyak anak-anak miskin yang tetap tidak bisa mengenyam pendidikan dasar dikarenakan tetap mahalnya biaya lain, seperti seragam sekolah yang bermacam-macam yang harus dibeli dengan harga mahal, biaya buku dari sekolah yang mahal pula dan sebagainya. Meskipun di sisi lain dana pendidikan yang bayak dikorupsi, mungkin itulah yang menjadi kendala esensial krusial bagi anak-anak miskin di Indonesia untuk mengenyam pendidikan dasar dan sekolah menengah pertama. Yang mengejutkan lagi, anggaran pendidikan 20% dari APBN ternyata bukan hanya masuk pada kementerian pendidikan dan kebudayaan saja, melainkan masuk ke-18 kementerian. Karena masing-masing kementerian mempunyai kepentingan dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia.

Arah ideologi pendidikan sekarang sepertinya hanya bertumpu pada kebutuhan arus pasar semata. Padahal ideologi pendidikan sangat berbeda dengan ideologi pasar. Ideologi pendidikan lebih mementingkan nilai-nilai etis-humanistik, sedangkan ideologi pasar lebih bertumpu pada nilai-nilai pragmatis-materialistik. Ketika ideologi pasar telah mendominasi dunia pendidikan, maka ideologi pendidikan kita akan terseret jauh sehingga pendidikan hanya mencetak lulusan-lulusan yang pragmatis dan amoral.

Pendidikan Karakter; Hanya Sebuah Wacana Pemanis?
Jika melihat secara historis, istilah karakter dipakai dalam pendidikan pertama kali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W.Foerster. Terminologi ini mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai motor penggerak sejarah, baik bagi individu maupun bagi sebuah perubahan sosial.

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus yang melibatkan aspek teori pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Pendidikan karakter ini hanya akan menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh dan menyeluruh dalam konteks pendidikan nasional kita. Begitu pentingnya pendidikan karakter ini, sehingga Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu dari tujuh dosa fatal adalah “education without character” (Pendidikan tanpa karakter). Pendidikan karakter di negara-negara lain telah menjadi skala prioritas. Menurut Masnur Muslich, pendidikan karakter di beberapa negara dimulai sejak pendidikan dasar (elementary school), seperti di China, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea. (Pendidikan Karaker, 40:2011)

Pendidikan karakter ini merupakan sebuah upaya yang harus melibatkan semua pihak baik sekolah, keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan karakter tidak akan pernah berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Karena karakter dan subjektifitas manusia sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelajari, lingkungan sekolah, sistem politik yang mengatur publik, media massa dan televisi yang menyuplai informasi serta entitas-entitas lain yang turut mempengaruhi kesadaran individu. Sehingga dengan begitu, para peserta didik tidak hanya mampu mendemistifikasi kepentingan ideologis yang menyelimuti realitas dan mampu menyingkap fenomena-fenomena sosial, tetapi mereka juga bisa mempertahankan idealisme dan prinsipnya dengan baik.

Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini, karena usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Sehingga, kesuksesan orang tua dalam membimbing anaknya sangat menentukan kesuksesan anaknya dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak. Seperti yang dikemukakan oleh Freud bahwa kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Teringat juga sebuah saran dari Philips yang menyarankan bahwa keluarga hendaklah kembali menjadi school of Love (Sekolah untuk kasih sayang) atau tempat belajar yang penuh cinta dan kasih sayang. Penyair Arab al-Hafidz Ibrahim juga pernah menulis bahwa Ibu adalah sekolah, jika dipersiapkan dapat membentuk bangsa yang baik dan kuat.

Sistem Pendidikan yang Ideal
Sebuah sistem pendidikan yang berhasil adalah yang dapat membentuk manusia-manusia berkarakter yang sangat diperlukan dalam mewujudkan sebuah negara kebangsaan yang terhormat. Li Lanqing, seorang politikus China yang mempunyai pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang pendidikan. Dia menekankan bahayanya sistem pendidikan yang terlalu menekankan hafalan (kognitif), drilling, dan cara mengajar yang kaku, termasuk sistem pendidikan yang berorientasi hanya untuk lulus dalam ujian. Sebagai hasilnya, China bisa mengejar ketertinggalan ekonomi, sosial, dan budaya akibat Revolusi Kebudayaan yang dijalankan oleh Mao Zedong antara tahun 1966 dan 1976.

Sistem pendidikan ideal adalah suatu sistem yang mampu menanggulangi kebutuhan peserta didik yang berorientasi pada norma-norma idealisme serta akhlaq yang terpuji, bukan sistem yang hanya menitik-beratkan pada kecerdasan intelektual semata, tetapi harus diimbangi dengan kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional secara selaras, serasi, dan seimbang serta mampu menterapkan norma-norma agama Islam dengan akhlaq yang terpuji. Dengan begitu, perlu adanya pendidikan Islam sebagai dasar pembentukan moral. Pendidikan Islam yang menekankan pada dimensi normatif-teologis akan memberikan kontribusi dalam memecahkan persoalan-persoalan empiris-sosiologis yang terjadi di masyarakat. Sistem pendidikan yang baik akan menghasilkan manusia-manusia yang mumpuni kemampuannya serta terpuji akhlaqnya, sehingga bangsa kita akan bangkit, beradab, dan berkarakter. Karena pendidikan bukanlah segalanya, tapi segalanya  berawal dari pendidikan.

Wajah pelbagai problematika pendidikan harus segera dibenahi atau diakhiri agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan berkarakter sehingga tidak akan muncul sindiran-sindiran tajam di publik seperti “Sekolah itu candu” (Roem Topatimasang,2004), “Orang Miskin dilarang sekolah” (Eko Prasetyo,2005) dan lain-lain. Dunia pendidikan jangan sampai dijadikan sebagai kelinci percobaan dalam setiap kebijakan-kebijakannya, karena rakyatlah yang pasti akan menderita. Membangun sistem penyelenggaraan pendidikan yang baik dan benar hanya dapat diwujudkan dengan sistem yang telah teruji, terbukti, dan hanya berpihak kepada kepentingan rakyat (pro-rakyat). Semoga ke depan bangsa kita lebih beradab, berkembang, sejahtera kini, esok, dan selamanya. Bravo Pendidikan Indonesiaku !!

*-Staff Kajian Pendidikan BEM REMA UPI’12
-Ketua Departmen Humas BEM KEMABA UPI’12
-Sekretaris Umum HIMA Persis UPI’12