Menggugat Kurikulum Setengah Matang
Oleh : Hilman Rasyid*
Oleh : Hilman Rasyid*
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mempunyai kurikulum pendidikan yang ideal dan stabil (tidak berubah-ubah) serta mampu memberikan motivasi pada pelajarnya untuk bisa meningkatkan standar mutu pendidikannya di masa yang akan datang. Secara historis, kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian menteri pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap.
Rencana pemerintah yang akan menerapkan kurikulum 2013 telah membuat berbagai kalangan menjadi resah dan gelisah. Kebijakan yang berasal dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini menjadi sorotan tajam masyarakat terutama para pengamat pendidikan. Banyaknya terobosan-terobosan baru dalam kurikulum baru ini membuat kurikulum tersebut menjadi kontroversial. Dalam penyusunannya pun tidak memberikan transparansi terhadap situasi yang menjadi alasan kuat perlunya kurikulum baru ini. Bukan hanya itu, model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) saja belum ada tindakan riset dan evaluasi yang konkret. Bahkan menurut Ketua Dewan Pendidikan DIY Prof Wuryadi (21/12) model KTSP 2006 sampai saat ini baru menuju uji coba.
Padahal kita pun tahu bahwa indikator keberhasilan atau kegagalan suatu kurikulum bisa dilihat jika kurikulum tersebut telah memenuhi berbagai proses yang sangat panjang. Mulai dari kristalisasi ide dan konsep yang ideal, kematangan para pendidik, tata kelola pelaksanaan kurikulum hingga evaluasi pembelajaran dan kurikulum. Sehingga dengan demikian, ketika akan memunculkan suatu kurikulum yang baru, maka harus ada rasionalisasi yang jelas dan kurikulum yang ‘lama’ telah melewati berbagai proses di atas. Pertama, Kurikulum 2013 yang belum diberi nama ini selain dirumuskan secara terburu-buru, sepertinya juga disusun atas dasar obsesi dan keegoisan dari pihak pemerintah (baca: mendikbud) sehingga rujukan utamanya hanyalah hasil dari satu pihak yang dalam hal ini dari pihak mendikbud yang terlihat optimis dengan gagasanya yang keren, padahal sebenarnya mengambang. Sehingga tidak menunjukkan suatu hal yang lebih baik.
Kedua, Kebijakan UN di dalamnya masih diberlakukan. Padahal orientasi dari proses pembelajaran dan hasilnya haruslah seimbang. Ujian Nasional (UN) hanya akan melupakan dan menghilangkan arah pendidikan itu sendiri. UN sama sekali tidak memperhatikan arti sebuah proses pembelajaran. Sehingga dalam hal ini akan berdampak pada diskriminasi mata pelajaran yang tidak diujikan dalam UN. Padahal mata pelajaran non-UN juga sangat memberikan kontribusi yang signifikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Kalaupun UN tetap dijadikan sebagai salah satu tahapan evaluasi, maka UN jangan dijadikan sebagai standar kelulusan seorang murid. Namun harapan yang sangat, pemerintah harus mulai mempersiapkan formulasi yang baru sebagai alat evaluasi yang ideal.
Ketiga, Dalam struktur kurikulum tersebut ada sebuah pengintegrasian 2 mata pelajaran yang kontras, yaitu antara IPA dan IPS. Kedua mata pelajaran tersebut dilebur menjadi satu pelajaran dalam mata pelajaran bahasa Indonesia untuk jenjang pendidikan dasar. Tentu hal ini sangatlah konyol dan perlu kita kritisi karena akan mengakibatkan dangkalnya pengetahuan siswa sekolah dasar terkait kedua mata pelajaran tersebut. Rumpun-rumpun ilmu mata pelajarannya pun sangat berbeda. Maka ketika siswa masuk ke tingkat selanjutnya dikhawatirkan pemahaman ilmu tersebut tidak berjalan secara optimal dan maksimal. Keempat, Hadirnya kurikulum 2013 ini sebagai peluang dan ajang industrialisasi pendidikan. Ketika kurikulum 2013 terlegitimasi secara sah, maka berbagai penerbit buku pun pasti akan sibuk mencetak berbagai buku mata pelajaran setiap jenjang dengan label kurikulum 2013. Hal ini tentu dikhawatirkan akan mempersulit para pelajar di Indonesia untuk mengenyam pendidikan. Serta bisa menjadi peluang bisnis yang besar untuk berbagai pihak terutama sekolah.
Kelima, Dalam kurikulum tersebut ada sebuah sentralisasi pendidikan. Dimana penyusunan dan perancangan silabus serta penerbitan buku pelajaran tidak akan dibuat oleh setiap guru dan sekolah, namun disusun dan dibuat oleh pihak pemerintah pusat langsung yang dalam hal ini juga oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal inilah menjadi persoalan yang sangat krusial. Penyusunan dan perancangan silabus oleh setiap guru akan lebih baik ketimbang oleh pihak yang tidak tahu kondisi sebenarnya. Kita tahu bahwa silabus adalah sebuah rencana pembelajaran pada suatu mata pelajaran tertentu yang di dalamnya mencakup berbagai aspek kegiatan dan rancangan. Silabus yang baik adalah silabus yang sesuai dengan kondisi sekolah dan potensi daerah masing-masing yang dalam hal ini diberikan kewenangan pada sekolah untuk mengambil keputusan berkenaan dengan pengelolaan pendidikan. Sehingga mau tidak mau, seorang guru harus siap dan mampu membuat silabus yang baik sesuai dengan kondisi dan tujuannya.
Sebenarnya kalau kita analisis, materi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) itu masih bisa dinilai lebih bagus dibanding dengan rancangan Kurikulum 2013. Meskipun implementasinya memang kurang baik yang disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah kualitas guru yang tidak kunjung dibenahi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Guru adalah aktor utama yang terjun langsung ke lapangan untuk mengimplementasikan berbagai materi yang ada dalam suatu kurikulum. Alangkah lebih baiknya bila pihak pemerintah lebih mematangkan kembali konsep dan sistem yang ada dalam kurikulum 2013 tersebut. Namun sebenarnya, pembenahan kualitas dan mutu guru-lah yang terlebih dahulu harus dibenahi daripada susah payah mengganti kurikulum dengan yang baru.
Program sertifikasi jangan dan bukan satu-satunya jalan untuk melihat standarisasi kualitas seorang guru. Karena banyak sekali guru yang belum tersertifikasi namun nyatanya jauh lebih baik daripada guru yang telah tersertifikasi. Namun kita juga tidak bisa menyalahkan para guru yang terlalu mengejar sertifikasi karena tanpa sertifikasi para guru tidak dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik. Kalaupun harus memakai jalur serfitikasi, maka alangkah lebih baiknya jika sistem sertifikasi itu sedikit didesain dengan konsep yang baru. Misalnya, pemberian sertifikasi diberikan bukan untuk guru-guru yang memiliki 24 jam seminggu dalam mengajar mata pelajaran, tapi mereka yang memiliki pengorbanan dan perjuangan yang lebih tinggi -misalnya guru yang mampu membuat silabus yang sangat baik termasuk implementasinya atau jarak rumah guru dan sekolah yang sangat jauh berliku dan lain sebagainya-.
Dengan demikian, pihak pemerintah harus terus memperbaiki dan mere-evaluasi sistem kualifikasi guru agar bisa mencetak para pendidik yang lebih baik dan berkualitas. Pihak pemerintah juga harus siap mendesain ulang kurikulum 2013 dengan lebih matang. Jangan terlebih dahulu sibuk menjadikan para siswa terutama di Pontianak, Jumat (21/12) sebagai kelinci percobaan dengan gonta-ganti kurikulum. Namun alangkah lebih baiknya dalam mendesain ulang kurikulum 2013 ini ada sebuah kontribusi dan kerjasama dengan pihak guru sebagai aktor utama dalam suatu kurikulum.
* Ketua Umum HIMA Persis PK UPI
0 tanggapan:
Posting Komentar