HIMA PERSIS

qrcode

Senin, 28 November 2011

Rakyat Indonesia Butuh Sosok Soe Hok-gie Jilid 2



‎"Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan"
-Soe Hok-gie

(Hilman Rasyid) Hiruk pikuk dan dinamika politik di negeri ini yang semakin rumit, menjadi sebuah momentum untuk menampilkan kembali sosok Soe Hok-gie yang hampir telah dilupakan oleh mayoritas rakyat Indonesia. Di tengah krisis rasa keadilan, hilangnya rasa malu dan gencarnya semangat untuk menggugat khususnya hukum saat ini, sosok Soe atau Gie; panggilan akrabnya, pantas ditampilkan kembali di era globalisasi ini. Soe yang kita kenal sebagai orang yang cerdas, penulis produktif, pemberani, idealis murni, seorang demonstran namun romantis, aktivis tahun ’66. serta intelektual muda yang luar biasa, dan semangatnya yang senantiasa menggelegak, seakan tak peduli risiko apa pun yang bakal menimpanya karena kecintaannya pada keindonesiaan.

Dalam catatan narasi sejarah bangsa Indonesia telah terukir, bagaimana daya juang yang diperlihatkan sosok Soe Hok-gie yang pernah ikut andil dalam menumbangkan rezim orde lama dan menentang Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Soekarno. Soe memang sosok yang keras baik dalam sikap intelektual maupun politik. Di dalam bukunya yang terkenal “Catatan Seorang Demonstran”, beliau mencurahkan segala unek-unek yang terjadi pada masanya. Analisisnya yang tajam terhadap berbagai permasalahan bangsa lewat tulisannya yang sering dimuat di beberapa Koran, menjadikannya sebagai orang yang terkenal kritis baik di kalangan mahasiswa maupun para pejabat negeri ini. Tulisan-tulisan yang tajam mengkritisi ketidakadilan; korupsi dan suap merajalela, ternyata keluar dari sosok yang sederhana, ringkih, dengan cara jalan yang lucu. Sungguh berbeda dengan gambaran pemuda masa kini yang berpenampilan urakan dengan jaket, bendera dan celana robeknya. Kemudian tidak sedikit pemuda yang bisanya berteori di mulut saja tanpa ada realisasi, dan lebih parah lagi pemuda yang apatis terhadap problematika bangsa Indonesia. Betapa tidak menariknya para pemuda sekarang ini. Sosok idealis seperti Gie itulah yang bisa membuat anak muda berani menghadapi hidup, menyelami relung-relung bangsa yang penuh liku dan luka, menjadi pemuda yang bisa dibanggakan bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Tugas Pemuda; Membaca untuk Melawan

Angkatan muda sekarang sepertinya telah tertular dan terjebak oleh virus yang bernama “Kapitalisme Global”. Sistem tersebut telah berhasil membuat khususnya angkatan muda bersikap apatis, materialis, konsumeris (rakus), hedonis dan lain-lain. Merajalelanya patologi sosial (penyakit masyarakat) seperti: prostitusi, bisnis esek-esek, mafia perjudian, aborsi, minuman keras dan narkoba, sudah sampai pada titik nadir yang sangat memprihatinkan. Pemuda hari ini selalu sibuk menyaksikan siaran hiburan televisi, entah itu sinetron beradegan tangis bombay, nyanyian dengan tarian goyang-goyang dada dan pinggul, film action dar-der-dor berdarah-darah, serial komedi yang berteriak ketawa-ketiwi basi, ataupun tayangan infotainment yang hanya gosip picisan orang berniat kawin cerai, dan lain-lain. Angkatan muda jelas mempunyai tugas yang sangat signifikan yaitu membaca untuk melawan. Melawan dengan intelektualitas pada ketidakadilan dan ketidakjujuran di berbagai hegemoni kehidupan, baik melawan dengan tulisan maupun dengan ucapan. Karena kita adalah pionir perubahan. Maka keberadaan kita diharapkan bisa mendesain dan memicu adanya perbaikan bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Semangat Perbaikan Indonesia

Impian Soe Hok-gie untuk membangun Indonesia yang lebih adil, makmur, sejahtera, dan demokratis masih sangat relevan hingga saat ini. Dalam usia Republik Indonesia yang ke-66 tahun pada 2011 ini, ternyata bangsa kita belum semuanya menikmati rasa keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Sistem demokrasi Indonesia yang datang silih berganti ternyata juga belum mampu membawa Indonesia ke situasi yang amat diidam-idamkan itu.

Indonesia tetap membutuhkan angkatan intelektual yang bukan saja kaya akan konsep-konsep ilmiah, namun juga mau terjun langsung ke lapangan. Angkatan Intelektual Indonesia bukanlah cendekia yang yang tinggal di “Menara Gading” dan tidak memperdulikan kondisi masyarakat yang hidup di dasar menara. Seorang mahasiswa sebagai angkatan intelektual haruslah siap bagaikan “pertapa yang turun dari tempat pertapaan mereka di gunung-gunung sepi untuk mengabdi pada rakyatnya”. Artinya, hasil kontemplasi pemikirannya sebagai pertapa yang menimba ilmu di unversitas diimplementasikan atau diwujudkan dalam pemikiran dan tindakan nyata di masyarakat.

Kita adalah harapan bagi masa depan bangsa. Tugas kita semua adalah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk mengambil peran dalam proses pembangunan untuk kemajuan bangsa kita di masa depan. Estafet kepemimpinan di semua lapisan, baik di lingkungan suprastruktur negara maupun di lingkup infrastruktur masyarakat, peluangnya terbuka luas untuk kita, sebagai angkatan muda Indonesia. Namun bayangkanlah, jika semua angkatan muda terjebak pada hegemoni kemaksiatan, terpenjara dalam romantisme sejarah, tetapi tidak mampu merealisasikan ide-ide yang baik karena ketiadaan kemampuan teknis, keterampilan manajerial untuk merealisasikannya, sungguh tidak akan ada perbaikan dalam kehidupan kebangsaan kita ke depan.

Dengan demikian, rakyat Indonesia telah menunggu pemuda yang kritis dan berani berteriak lantang menjawab pertanyaan-pertanyaan, tidak takut melawan ketidakadilan dan ketidakjujuran di bumi pertiwi ini, oleh tokoh baru dengan tantangan baru. Rakyat mencari dan berharap kehadiranmu “Soe Hok-gie jilid II”. Bravo Indonesiaku!!

*Hilman Rasyid -Mahasiswa PBA UPI Bandung dan Wakil Ketua Dept. KAIS KEMABA UPI ‘11
Sekum HIMA Persis UPI

Kamis, 24 November 2011

Kuatnya Penjajahan Sistemik


Pada naluritasnya manusia diciptakan oleh Allah dengan mencintai 3 hal : Istri, anak dan harta benda. Kecintaan kepada tiga hal tersebut dalam ajaran Islam dinilai bukan merupakan sebuah kesalahan atau penyimpangan, melainkan pembawaan atau naluri insaniyyah. Hal tersebut dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya : 

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini (Syahwat), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).  (QS. Ali Imran : 14)

Dalam Kitab Tafsier Al-Wadih dijelaskan bahwa syahwat adalah emosi yang timbul dalam jiwa disebabkan ada dorongan untuk mengemukakan suatu pendapat atau  keperluan agar ia bisa merasakannya atau menikmatinya.

Ajaran Islam memang tidak melarang kita untuk mencintai tiga hal tersebut. Tetapi yang diwanti-wanti dalam ajaran Islam adalah : Pertama, jangan sampai kecintaan itu berubah menjadi sebuah penyakit, yang disebut penyakit “Hubbud Dunya“ , dimana salah satu cirinya,  orang itu tidak diberi rasa tumaninah dan betah dalam ibadah, misalnya berdo’a dan shalat tidak bisa tumaninah dan khusyu’, selalu resah dan terburu-buru, hadir pada Jum’atan dan pengajian  selalu ingin cepat selesai karena fikiran dan perasaan selalu terganggu oleh urusan harta dan dunia.   
Kedua, Islam melarang jangan sampai akibat dari kecintaan yang berlebihan, membuat kita lupa dzikir kepada Allah, seperti diingatkan oleh Allah : 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS. Al-Munafiqun : 9)

Lupa dzikir kepada Allah bisa dalam pengertian lupa beribadah dan bersyukur kepada Allah. Kita sering menyaksikan ada orang yang karena kecintaan kepada harta benda, sampai harus bekerja keras, banting tulang,  peras keringat, pergi pagi pulang  malam,  hingga lupa shalat, tak sempat  ngaji, sehingga shalat jum’at yang hanya sekali dalam seminggupun ia sudah tidak bisa menunaikannya.  Tidak jarang orang yang seperti itu akhirnya menjadi orang kaya dan urusan akhirat tertinggal.

Lupa dzikir kepada Allah bisa juga dalam pengertian melupakan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Banyak orang yang dalam upaya memenuhi kecintaan kepada wanita, harta atau anak keturunan tidak memperdulikan lagi batas-batas halal dan haram, hak dan bathal. Merajalelanya prostitusi di segala strata masyarakat dengan segala bentuk dan akibatnya, Mewabahnya korupsi, dan kolusi. Untuk masuk sekolah, untuk diterima sebagai pegawai, untuk naik pangkat, untuk dapat jabatan, tidak bisa dilakukan kecuali harus dengan main suap. Orang merasa tidak bisa hidup layak, kaya dan senang kecuali dengan korupsi, mencuri, menipu, berjudi, menjual diri, dsb. Dalam kaitan ini Nabi saw.  mengingatkan :"Akan datang kepada manusia suatu zaman dimana orang tidak bisa hidup pada masa itu kecuali dengan maksiat, sampai orang harus berdusta dan bersumpah." (HR. Ad-Dailami dari Anas ra.)
Dalam hadits lain Nabi saw bersabda : 

ياءتى على الناس زمان همهم بطونهم وشرفهم متاعهم ,و قبلتهم نساءهم , ودينهم دراهمهم  و دنانيرهم , أولئك شر الخلق لا خلق لهم عند الله – ر السلمي عن علي

"Akan datang suatu masa dimana prioritas (Jadi fikiran, obrolan hidup) mereka adalah isi perut, (hanya buthun dan tidak perduli soal bathin, alias rohani) yang memuliakan mereka harta mereka; (Orang dipandang mulia dan sukses, hanya karena banyak hartanya, tinggi kedudukan sosialnya, regel titrel dan balatak gelarnya);  kiblat mereka (yang menjadi pusat perhatian, arah fikiran  adalah syahwat kepada ) perempuan, agama mereka (yang dipertuhan, sehingga berkeluh kesah, bukan Allah, melainkan) dirham dan dinar (rupiah dan dolar) ; Mereka itu adalah sejelek-jelek makhluk, mereka tidak akan mendapat bagian di sisi Allah. (Kelak di kemudian hari)"  ( HR. As-Sulami dari Ali ra – Jam’ul Jawami’  9 : 200 )

Hadits ini mengingatkan kita bahwa akan datang suatu masa dimana yang jadi target hidup hanyalah kesenangan duniawi semata, duit, isi perut, wanita, dan tahta. Mereka mengira akan kekal di dunia, mereka lupa akhirat, lupa akan hisaban Allah.
Pada beberapa dekade terakhir ini saja, manusia yang menghambakan diri dengan uang atau mempertuhankan harta benda telah menjadi sebuah paham dan kekuatan global yang dengan giat berusaha menularkan wabah dan virus tersebut kepada setiap individu di seantero dunia. Sebuah kekuatan bernama “Kapitalisme Sekuler“. Sebuah sistem yang telah menjadi kekuatan imperialisme baru atau “Neo Imperialisme”. Adam Smith mengatakan :  “ Jika tukang daging menjual dagingnya kepada anda, itu bukan berarti dia belas kasihan kepada anda, melainkan karena dia mengejar keuntungan sendiri. Bicara uang, karena hidup adalah uang. Itulah cita-cita kapitalisme dan liberalisme.”

Kita menyaksikan sebuah proses yang sistemik, bagaimana “War Againts Terrorism“ (Perang Melawan Terorisme) telah bergeser menjadi “War Againts Islam“  (Perang Melawan Islam). Mereka dengan berbagai cara melakukan demonologi Islam (penyetanan Islam), memberikan stigmanisasi, Pencitraan buruk terhadap Islam, dengan  menempatkan Islam sebagai bahaya, jahat, kejam dan menjadi sebuah ancaman yang menakutkan. Dengan drama 11 September 2001 yang dinilai penuh rekayasa, dimana salah satu symbol kapitalisme yakni gedung WTC di New York runtuh, Islam telah diposisikan sebagai musuh baru Kapitalisme pasca runtuhnya Uni Soviet.
Dalam konteks ekonomi global, terutama pasca era Perang Dingin, negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia, yang penduduknya mayoritas muslim berbondong-bondong menerapkan sistem ekonomi kapitalis dan demokrasi liberal. AS dan negara-negara sekuler Barat dijadikan sebagai model atau contoh dengan sebuah harapan, akan mendapatkan kemajuan, kemakmuran duniawi, keadilan dan stabilitas. Kapitalisme dan Demokrasi Liberal dianggap seolah-olah sebagai satu-satunya ideologi yang dapat mengangkat negara dan bangsa dari jurang kemiskinan, ketidak-adilan, dan ketertinggalan, ke arah kemakmuran, kedamaian dan kemajuan. 
Imperialisme merupakan tujuan dari negara-negara kapitalis untuk menguasai negara-negara lain melalui cara-cara yang tidak langsung, alias imperialisme non fisik. Ada kecenderungan nyata, di negara-negara Dunia Ketiga yang mencoba menerapkan model kapitalisme dan demokrasi liberal sebagai pijakan sistem ekonomi dan politiknya, justru malah mengalami kondisi yang semakin memprihatinkan. Kemiskinan, keterbelakangan, pengangguran, ketimpangan sosial, konflik horizontal dan vertikal, korupsi akut, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, dan krisis moral degradatif yang semakin parah dan berdampak sangat buruk.

Kapitalisme global telah mempromosikan dan menularkan wabah : Individualisme (egoisme alias ananiyyah, tidak perduli terhadap sesama apalagi kaum dlu’afa); Materialisme (segala sesuatu selalu diukur dengan uang dan materi, mata duitan); Konsumerisme (segala maunya dibeli dan dimiliki, hawek dan mak-mak mek-mek); Permisifisme (Tidak perduli terhadap nilai dan hukum agama, tidak mengindahkan batas halal haram, hak dan bathil) dan Hedonisme ( kesenangan duniawi semata yang jadi tujuan dan kejaran). 
Anthony Gidden menyatakan bahwa kapitalisme global telah merombak tatanan kehidupan masyarakat. Perombakan ini bukan hanya pada tataran sosial, ekonomi, dan politik. tapi juga pada tataran nilai. Yang dikejar hanya kesenangan duniawi semata, mereka tidak lagi memperdulikan tatanan dan norma serta nilai-nilai agama. Merajalelanya patologi sosial (penyakit masyarakat) seperti: prostitusi, bisnis esek-esek, mafia perjudian, korupsi, aborsi, minuman keras dan narkoba, sudah sampai pada titik nadir yang sangat memprihatinkan. 

Di bidang media massa kita menyaksikan ada tiga fenomena mendasar. Secara Sosial, telah terjadi rekayasa sosial (Social engineering) yang disengaja untuk mentransformasikan atau mengubah masyarakat kita menuju masyarakat sekuler-liberal , Masyarakat yang menjauhkan agama dari wilayah kehidupan publik, agama hanya dianggap sebagai urusan pribadi dengan Sang Khaliq, tidak boleh dibawa-bawa ke urusan ekonomi, sosial, politik maupun budaya.  Secara Ekonomi, membuktikan bahwa kaum kapitalis telah menguasai banyak media massa, baik koran, majalah terutama TV, demi uang semata. Kita menyaksikan bagaimana eksploitasi pornografi, pornoaksi, dan hal-hal yang berbau mistik, takhayyul, dan syirik; dengan bungkus istilah-istilah Islam,  demi mengeruk keuntungan materi semata, tanpa peduli terhadap dampak buruk bagi akidah dan akhlak masyarakat. Kalau saya ambil istilah Yoga (Ketua PD HIMA Persis  Kota Bandung) nilai yang didapatkan cuma Eksploitasi Seksualitas dan Eksploitasi Hedonisme,. Media massa sa’at ini mayoritas bukan sekedar sebagai media hiburan, tapi telah punya andil besar dalam meruntuhkan dan menghancurkan nilai-nilai moral, etika, dan agama. Sementara banyak pemuka agama ikut memberi legitimasi terhadap berbagai kemunkaran tersebut, dan masyarakatpun sering tidak menyadarinya, apalagi berusaha untuk menghindarinya, paling tidak usaha meminimalkannya.  Dan Secara Politik, apa yang terjadi di media massa saat ini menunjukkan bahwa pemerintah, termasuk di dalamnya kalangan legislatif dan yudikatif, tanggung jawab terhadap masalah akidah dan akhlak masyarakat relatif masih sangat rendah.

Rentetan musibah, berupa krisis ekonomi berkepanjangan, mewabahnya berbagai penyakit yang menakutkan, seperti Flu Burung, Demam Berdarah, Malaria, HIV/AIDS, dsb;  banyaknya kecelakaan, serta bertubi-tubinya bencana alam, dengan korban jiwa dan harta yang tak terhingga,  nampaknya belum cukup kuat untuk menyadarkan banyak orang dan banyak pihak, untuk menyadari segala kekeliruan, kesalahan dan dosa, kemudian mendorong diri untuk lebih taqarrub kepada Allah, bertaubat atas segala kesalahan dan dosa, serta bersyukur atas segala nikmat dan karunia-Nya.  Allah swt sudah  mengingatkan :”Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". ( QS. Thaha : 124 )

Belakangan ini, Liberalisme yang merupakan produk atau anak kandung dari kapitalisme, bukan hanya telah mewarnai bidang sosial, politik dan ekonomi, tapi juga telah masuk ke wilayah agama. Dengan munculnya paham dan agama baru bernama “Pluralisme Agama”.  
Kebebasan adalah nilai asing yang secara sistemik dicekokkan  ke dalam tubuh masyarakat muslim. Pluralisme Agama adalah paham bahkan agama baru yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, semua menuju jalan kebenaran, menuju tuhan yang  satu, tuhan yang sama.  Dan karenanya kebenaran semua agama relatif, tidak mutlak. Oleh sebab itu setiap penganut agama  tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama lain salah.  Pluralisme Agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama kelak di akhirat akan berdampingan di surga .

Munculnya sebuah konsep Hukum Islam yang terkait dengan masalah : Kewarisan, Perkawinan dan Wakaf, yang disusun bukan merujuk kepada Al-Qur’an, As-Sunnah dan Fikih Islam, tapi lebih berdasarkan kepada : HAM, Demokrasi, Kesetaraan Gender dan Pluralisme Agama. Konsep itu berisi antara lain : Bolehnya nikah beda agama; batalnya poligami tapi sahnya nikah kontrak; penyamaan hak warits laki-laki dan wanita; serta adanya hak warits bagi ahli warits yang berbeda agama, dsb. 

Munculnya kasus “Aminah Wadud“ dkk. Yang menyelenggarakan  jum’atan di Katedral (Gereja Agung) milik keuskupan Manhatan, New York, dengan muadzin, khatib dan imamnya wanita, dengan jama’ah campuran laki-laki dan wanita, dengan shaf sejajar antara laki-laki dan wanita, dengan sebagain jamaah wanitanya tidak menutup aurat.

Munculnya kasus shalat dengan dua bahasa yang dilakukan oleh komunitas Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku, pimpinan M. Yusman Roy, mantan petinju, di Malang. Munculnya kelompok yang menghujat dan menggugat otentisitas (keaslian) al-Qur’an. 

Semua yang disebutkan di atas menjadi bukti betapa liberalisme di bidang agama sudah sampai pada tingkat yang memprihatinkan dan membahayakan sekali. Mereka juga mengusung pendekatan hermeneutik dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, mengikuti tradisi Yahudi dan Kristen dalam menafsirkan kitab suci mereka.  Sebuah tafsier yang katanya bukan hanya memahami makna kata dan kalimat, tapi juga memasukkan unsur-unsur historis dan sosio budaya. Sehingga Khamer atau Miras bisa jadi halal  bagi penduduk daerah bersuhu dingin, karena dulu khamer diharamkan bagi penduduk bersuhu udara panas, dan berwatak temperamental (mudah marah).  Babi bisa jadi halal jika jumlahnya banyak dan harganya murah, dengan argumen babi dulu diharamkan karena babi di sana jarang dan harganya mahal.

Kita tahu, tugas para ulama dan da’i adalah untuk membimbing umat, memberi pencerahan, dan menunjukkan kepada mereka tentang mana yang hak dan bathil, mana yang halal dan haram, yang ma’ruf dan munkar, yang benar dan sesat. Itulah tugas kenabian yang diamanahkan kepada para ulama sebagai pewaris Nabi saw. Tidaklah pada tempatnya jika para ulama atau cendekiawan muslim malah membuat umat menjadi bingung, ragu dan sesat, dengan membuat statement dan tasykik yang tidak sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Lantas kalau tidak bisa membedakan dan meyakini mana yang benar dan sesat, mana yang ma’ruf dan munkar, kapan dan tugas siapakah melakukan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar itu ? Rasulullah saw pernah mengingatkan : 
“Di akhir zaman akan muncul sekelompok orang muda usia, tapi akhlaknya buruk, mereka berbicara tentang al-Qur’an, tapi sudah lepas dari ajaran islam, seperti lepasnya anak panah dari busurnya. Iman mereka  tidak melewati tenggorokannya (hanya sampai di bibir tidak masuk di hati). Jika kamu bertemu dengan mereka perangilah mereka, sesungguhnya memerangi mereka akan mendapat pahala pada hari kiamat.” (HR. Ahmad dan Al-Bukhari).

Dalam hadits lainnya Nabi saw mengingatkan : 
“Kalian akan benar-benar mengikuti (mengekor) perilaku orang-orang sebelum kamu setapak demi setapak, sampai kalau kamu diajak masuk ke lubang yang sempit  sekalipun oleh mereka, pasti kamu akan mengikutinya.” Para Sahabat bertanya :  “Apakah yang dimaksud mereka itu Yahudi dan Kristen ?” Nabi saw menjawab : “ Siapa lagi ? “ ( HR. Ahmad dan Al-Bukhari )

Apa yang diingatkan Nabi saw itu kini kita saksikan dan rasakan sendiri, bagaimana kalangan kaum muslimien termasuk kalangan cendekiawannya secara sadar atau tidak, telah dengan rela dan senang hati menjadi budak mereka, mengikuti segala tradisi, dan misi mereka, bukan hanya dalam masalah akhlak dan muamalah keseharian semata, tapi hampir dalam segala aspek kehidupan, baik itu sosial, ekonomi dan politik, termasuk dalam masalah agama, dalam cara menafsirkan al-Qur’an, dsb. 

Kita telah menyaksikan dan merasakan akibat suasana kehidupan yang  semakin jauh dari nilai-nilai Islam. 
Di bidang Ekonomi : Ekonomi kapitalistik, sistem ekonomi yang sarat dengan hal-hal yang diharamkan dalam Islam, seperti : riba, gharar, riswah (suap) dan telah melahirkan konglomerasi, monopoli dan yang telah memperlebar jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, jauh dari suasana ekonomi yang dikendaki oleh Allah dalam QS. Al-Hasyar : 7.  
Di Bidang Politik : Politik oportunistik, orang berlomba mendapatkan jabatan dan kedudukan, bukan dalam rangka dakwah, bukan demi kemaslahan dan kesejahteraan bersama, tapi lebih  karena vested interest dalam rangka memenuhi ambisi pribadi dan dalam rangka memperkaya diri dan kroni. 
Di Bidang Budaya : Budaya hedonistik, yang jadi target hanya pemuasan nafsu hewani, budaya Barat jadi Kiblat, apa yang datang dari Barat dinilai pasti baik, pasti benar. Sementara nilai-nilai Islam dinilai Old Fashion, kuno dan Out of date
Di Bidang Sosial : suasana kehidupan yang egoistik dan individualis semakin kentara, orang-orang kaya dan berada,  semakin banyak yang tidak perduli terhadap kaum dlu’afa. Bakhil alias kikir.  Segala apa yang telah dimilikinya tidak disadari sebagai sebuah amanat disamping nikmat. Malah bisa jadi laknak jika dengan kekayaan dan kejayaan itu dia semakin genah batah dalam maksiat dan durhaka kepada Allah.  
Di Bidang Pendidikan : Pendidikan yang materialistik, hasil pendidikan itu harus terukur dengan materi dalam bentuk : gelar, jabatan, dan uang. Pendidikan dinilai gagal melahirkan manusia sholeh yang menguasai Iptek. Manusia yang cerdas dan takwa serta tawadlu’. Banyak orang yang semakin tinggi pendidikannya, bukan berilmu padi, kian berisi kian runduk, melainkan semakin jocong dan sombong, menampilkan arogansi intelektual dengan melakukan ghamtun-nasi, melecehkan dan merendahkan orang lain.  
Di Bidang Agama : Agama yang sinkristik, dengan semakin mewabahnya mistikisme, tetap merajalelanya tahayul, bid’ah dan khurafat (TBC), menjamurnya aliran sesat dan menyesatkan dengan para pengasong dan suporternya;  serta semakin mewabahnya  virus Pluralisme Agama. 

Wahai Ikhwah fillah ! inilah tugas kita yang belum terselesaikan dan hampir terlupakan dan tak tersadari. Semoga catatan ini bisa menjadi sebuah intelegensi, stimulasi bagi semangat kita, sebuah inspirasi untuk melakukan perubahan baik sikap maupun ucapan. Aamien

Wallahu ‘alam

Rabu, 16 November 2011

Shalat : Sebuah Ritual Menuju Indonesia yang lebih Sejahtera


Shalat adalah salah satu ibadah yang diperintahkan dalam Islam. Nabi Saw menerangkan bahwa shalat merupakan tiang agama; barang siapa yang mendirikan shalat maka ia telah mendirikan agama, dan barang siapa yang meninggalkan shalat maka ia telah merobohkan agama. Dalam beberapa kajian kepesantrenan-pun dibahas bahwa perbedaan antara muslim dan non-muslim adalah shalat.
Jika kita perhatikan, efek dari shalat ini sangatlah besar, terutama pada keseharian seorang muslim. Kita bisa mengetahui bagaimana kualitas kehidupan seorang muslim dari shalatnya, semakin baik shalatnya, maka semakin baik kualitas kehidupanya. Allah berfirman :
“Tahukah kamu(orang) yang mendustakan agama?Maka itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Yang berbuat ria. Dan enggan memberi bantuan. (al-Ma’un [107]:1-7)
Jika mengingat apa makna pada ayat empat dan lima, “Maka celakalah orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya”  dalam tafsir al-maraghi dikemukakan bahwa orang yang shalatnya tidak membekas didalam jiwanya sedikitpun dan tidak membuahkan hasil dari tujuan shalat akan disiksa, yakni orang yang shalat hanya sebatas gerakan badan saja. Hal ini karena hatinya kosong, tidak menghayati apa yang dikatakan oleh mulutnya, dan shalatnya tidak membekas atau berpengaruh terhadap tingkah lakunya.
Mari kita lihat bagaimana kenyataan yang terjadi di negri yang makmur dan orang menjuluki negri ini “sepotong tanah dari surga”
Indonesia hari ini adalah warga Indonesia yang begitu konsumtif, mewah dan modis. Saat kita melihat generasi muda, kita menemukan pemuda yang ambisius dan matrealistis. Saat kita mmperhatikan para remaja, kita bosan dengan update status situs jejaring sosial yang memuat hal- hal tidak terlalu penting yang notabene adalah curhatan pribadi, saat kita mengalihkan perhatian pada orang tua kita, kita mendengar kasus korupsi, kisruh politik atau kasus penyalahgunaan jabatan.
Para pemuda sebagai “pewaris tahta” Indonesia terkelabui dengan harapan-harapan sekolah cepat kerja atau sekolah dengan mengharap nantinya mendapat gaji yang besar, hal ini adalah pola pikir yang umum terjadi pada pemuda hari ini. begitu pula dengan para remaja yang terbius dengan pergaulan gaya barat yang mementingkan penampilan luar semata. Hari ini kita menemukan para remaja yang tergila-gila pada aktor atau aktris dalam maupun luar negri. Sosok para ilmuwan, guru kelas yang mengajar mata pelajaran biologi tidak lagi dipandang keren dimata mereka, atau malah Nabi Muhammad Saw, orang yang paling pantas diteladani dan orang barat sekalipun mengakuinya tidak menjadi rujukan dari kehidupan. Atau ayah dan ibu kita yang hari ini duduk di kursi pemerintahan bekerja dengan sepenuh hati melayani rakyat harus dinodai dengan para oknum pejabat yang lebih senang berbohong dan mengantongi pajak rakyat yang dikeluarkan dengan keringat dan darah.
Inilah negeri Indonesia, negara muslim terbesar di dunia, negara dengan sumber daya alam yang luar biasa, sekaligus rakyat yang tidak sejahtera.
Kita perlu menyadari mulai dari diri kita sendiri, sejauh mana kualitas shalat kita?sejauh mana dampak shalat bagi diri kita?mungkin keadaan Indonesia yang tidak membaik adalah karena diri kita yang tidak mau menyerukan kebajikan satu sama lain.
Banyak makna yang terkandung dalam shalat, saat kita sujud, wajah dan kaki kita sama rata tidak ada yang membedakan mana yang lebih tinggi mana yang lebih rendah. Mungkin saja dalam kehidupan sehari-hari kita lupa dan sering menganggap rendah orang lain karena kita mengenakan baju yang lebih cerah warnanya daripada teman sekelas kita, atau menganggap remeh pada orang tua yang sedang berjualan dikios buah-buahan yang mereka tidak menginjak bangku universitas seperti yang kita alami, atau memelototi pelajar SMA dengan alasan kita sudah berstatus mahasiswa. Hal ini terjadi karena kita melupakan esensi dari shalat itu sendiri.
Kita begitu merindukan keadaan ekonomi Indonesia yang stabil, anak-anak kecil berpakaian putih merah dengan topi dan dasi kecil berlarian menuju sekolah dasar tanpa merisaukan bagaimana mereka membeli buku tulis dan pensil, atau para mahasiswa yang penuh semangat memasuki gedung fakultas tanpa khawatir akan di-cuti-kuliahkan karena kekurangan biaya.
Andai saja muslim Indonesia melaksanakan shalat sesuai dengan apa tujuan shalat itu, tentu kita tidak akan se-menyedihkan ini, andai mereka bisa memaknai sujud jauh lebih baik, tidak akan ada perbedaan status ekonomi dan sosial yang meruncing, andai saja shalat kita berdampak pada perbuatan kita sehari-hari, kasus korupsi akan menyusut dengan cepat, kejahatan akan mudah untuk di-identifikasi, Indonesia akan lebih lebih baik. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosa kita semua dan memasukan kita kedalam orang-orang yang khusu’.Aamiin. Wallahu a’lam. (dikutip dari : Portal Dunia Trias)

Senin, 14 November 2011

Ketika Pendidikan Telah Melahirkan Mental Bangsa yang Pragmatis

“Semua yang kita lakukan bukan hanya karena suka atau tidak suka, nyaman atau tidak nyaman, tetapi apa yang kita lakukan itu karena suatu nilai yang kita inginkan. Walaupun kemanfaatannya kita rasakan, tetapi jika tidak sesuai dengan nilai, apalah artinya ??”

Hiruk pikuk dasawarasa ini, kita disajikan dengan berbagai santapan wacana dan problematika pendidikan di Indonesia, diantaranya tentang komersialisasi pendidikan, liberalisasi pendidikan, pragmatisme pendidikan dll. Namun saya merasa aneh ketika melihat pendidikan di Indonesia yang tidak sedikit telah melahirkan mental-mental bangsa yang pragmatis. Padahal semua orang tahu bahwa kemajuan suatu bangsa tergantung pada kualitas pendidikannya, dan sebaliknya kehancuran suatu bangsa disebabkan buruknya mutu pendidikan bangsa tersebut  Dan mungkin keanehan itu timbul dikarenakan keterbatasan ilmuku sebagai Calon Sarjana Pendidikan. Dan mungkin nama saya telah tercantum sebagai salah satu orang yang telah diracuni oleh kaum pragmatis.

Pragmatisme adalah kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dll) bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia. Pragmatisme mengajarkan kita sebuah pendekatan terhadap masalah hidup apa adanya dan secara praktis, bukan teoritis atau ideal dan kemudian hasilnya dapat dimanfaatkan. Bagi mereka, baik-buruknya perilaku dan cara hidup dinilai atas dasar praktisnya, hasilnya, dampak positifnya, manfaatnya bagi yang bersangkutan dan dunia sekitarnya. Pragmatis dapat lahir sebagai tanggapan kekecewaan terhadap kenyataan hidup yang ada. Mereka selalu berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan secara instan, praktis, karena dalam otak masyarakat pragmatisme telah dihinggapi oleh penyakit matrealisme. Dan untuk mencapai sebuah matrealismenya, ‘si pragmatis’ mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa mempedulikan yang lain. Mereka bekerja tanpa mengenal batas waktu hanya untuk mengejar kebutuhan materinya secara seketika, maka dalam struktur masyarakatnya ia pun hidup menjadi orang yang egoistik individualis (hedonisme).

Kemanfaatan dan sebuah nilai memang perlu diakui ke-eksistensinya yang sangat begitu urgent dalam kehidupan, sehingga manfaat dan nilai tidak bisa dipisahkan secara konkret dalam bentuk idealitasnya. Manfaat dan nilai menjadi satu padu dalam idealitas ideologi pragmatis-humanis. Dan ideologi ini telah merasuk dan meracuni siapapun yang terjerumus dalam sistem hegemonik kehidupan modern dan globalisasi. 

Teringat dengan sebuah statement Dr. Anis Malik Thoha yang menyatakan bahwa “Pendidikan adalah karakter, bukan sekedar apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui “ (Koran Pikiran Rakyat)

Saya pribadi sangat setuju dengan statement beliau diatas. Pendidikan memang bukan hanya sekedar apa yang diketahui dan tidak diketahui, tetapi pendidikan memiliki makna yang bersifat universal dan komprehensif. Menurut UU RI no. 17 tahun 2007 menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan pancasila, yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragama, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi iptek. Mantan Menteri Pendidikan Daoed Joesoef menilai bahwa saat ini telah terjadi ‘penghianatan intelektual’. Kaum Intelektual (kaum terdidik) sebenarnya tahu sedang terjadi penghancuran moral dikalangan birokrasi pemerintahan, penegak hukum dan masyarakat, tetapi mereka diam saja. Padahal intelektual semestinya mencerahkan masyarakat. (Kompas, 21/6)

Dan tujuan pendidikan bukanlah untuk mencari selembar kertas bernama Ijazah, bukan juga untuk mencari point diatas kertas dan bukan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja serta kesuksesan sebuah proyek semata. Kalaulah itu tujuannya, maka terlalu banyak waktu dan biaya yang kita habiskan. Apalagi sekarang kita hidup di era modern ini, sudah banyak media informasi dan pengetahuan berupa internet, majalah, televisi, radio dan berbagai media pembelajaran yang lebih murah meriah bahkan gratis. Tetapi kalau dilihat secara faktual, tidak sedikit kaum pelajar yang kecewa ketika mendapatkan nilai yang tidak adil, seolah nilai tersebut sebagai harga mati mereka. Dan mungkin itulah nilai, sebuah kata yang sederhana dan seringkali tidak adil, namun bisa membunuh karakter seseorang (character killing). Dan ketika nilai itu menjadi tujuan, maka menyontek pun menjadi sistem yang baik bagi si pragmatis. 
Pengajaran bukan pendidikan. Pengajaran hanya bagian kecil dari pendidikan. Pengajaran hanya bersifat transfer ilmu dan keterampilan. Sementara pendidikan membentuk sikap dan perilaku serta kepribadian. Begitu pula sekolah, sekolah bukan pendidikan, tetapi sekolah hanya salah satu sarana pendidikan. Maka ini merupakan salah satu peluru bagi si pragmatis untuk mendapatkan pembenaran, ‘bahwa tidak perlunya sekolah’.

Kemudian timbul suatu pertanyaan, “Apakah semua pelajar itu pragmatis ?” Tentu jawabannya Tidak. Karena tidak semua orang yang sekolah punya pemikiran apa yang kita bayangkan. Tidak semua orang yang sekolah berorientasi cari uang, dapat kerja, dapat ijazah, dapat gelar, dapat fasilitas, bisa kaya, dan sebagainya. Begitu pula sebaliknya tidak semua orang yang tidak sekolah itu jelek, lihatlah Buya Hamka dan Adam Malik mereka orang yang sukses dengan otodidak, bahkan Thomas A. Edison yang dipecat dari sekolah karena dianggap bodoh, ternyata bisa menemukan ribuah hasil penemuannya.

Jika kita berorientasi ke negara Indonesia, telah terjadi degradasi moral bangsa Indonesia, karena tercermin dengan semakin kronisnya penyakit yang bernama korupsi. Dan tentu saja memunculkan suatu pertanyaan “Mengapa pendidikan di Indonesia belum mampu melahirkan mental para birokrat yang bersih ?” tentu jawabannya tidak lain dikarenakan sistem pendidikan di Indonesia masih diwarnai dengan berbagai kesalahan, dan salah satu problematikanya adalah telah maraknya pragmatisme pendidikan di Indonesia. Dan kecenderungan pragmatisme pendidikan tersebut disebabkan karena pendidikan yang berkembang tidak lebih dari sekedar untuk memenuhi tuntutan dunia kerja semata. 
Di akhir bulan Mei 2011 ini saja, kita tahu hasil proses Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) melalui jalur undangan atau seleksi berdasarkan prestasi akademik tinggi di SLTA/se-derajat telah diumukan. Dan menurut Kemendiknas, peserta yang dinyatakan lolos jalur undangan sebanyak 46.706 orang dan itu sekitar 20,04 % dari total pendaftar, sedangkan jumlah semua adalah 232.948 orang. Ternyata tidak terlalu banyak peserta yang diterima lewat jalur seleksi nasional yang sempat berganti-ganti nama dari sipenmaru, umptn, spmb dan akhirnya menjadi SNMPTN. Dan nampaknya dalam setiap SNMPTN calon mahasiswa berbondong-bondong dan berebut untuk masuk di Jurusan yang menjanjikan kemakmuran dan kemudahan materi. Dan ternyata itu logis juga, karena setiap orang pasti menginginkan kemakmuran dalam hidupnya. Namun yang menjadi kegundahan, “Begitukah hasil pendidikan di negeri ini?” hanya menghasilkan mental-mental generasi bangsa yang pragmatis.

Dengan demikian kaum pragmatis menjadikan pelakunya senantiasa bersikap oportunitis dan hipokrit. Bagi mereka yang terpenting bukanlah mempertahankan idealisme dan ideologi, melainkan untuk mendapatkan keuntungan dari tindakan yang mereka lakukan. Dan ini menyisakan tanda tanya besar, “Ada apakah dengan sistem pendidikan di Indonesia ini ? Apakah sudah ada solusi konkret yang telah pemerintah lakukan khususnya dalam bidang pendidikan?” Seharusnya pendidikan di negeri ini mampu menumbuhkan mental bangsa yang ‘arif dan bijaksana dan bukan sebaliknya, malah menumbuhkan atau melahirkan bangsa yang pragmatis dan oportunitis. Dan negara akan semakin terpuruk jika tidak mampu mengembalikan disorientasi pendidikan ini. Oleh karena itu saatnya rakyat Indonesia, khususnya Umat Islam meninggalkan paradigma kaum pragmatis. Maka mari kita menjadi rakyat yang idealis, yang setia kepada kebenaran dan ideologi, bukan mencari keuntungan sesaat.

Mudah mudahan kita menjadi orang yang ‘arif dan bijak, sehingga bisa melahirkan solusi yang lebih konkret dan konstruktif dalam mengatasi berbagai kancah dan problematika NKRI, khususnya dalam bidang pendidikan. Aaamien

Wallahu a’lam

*Sekretaris Umum HIMA Persis PK UPI

Ketika Pendidikan Melahirkan Kaum Intelektual yang Tidak Bermoral

Di era globalisasi ini, persoalan budaya dan moral bangsa telah menjadi sorotan tajam masyarakat. Moralitas bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam telah merosot jauh dari nilai-nilai keagamaannya, karena tercermin dengan semakin kronisnya penyakit yang bernama korupsi. Terpuruknya bangsa ini, bukan hanya disebabkan oleh krisis ekonomi, melainkan juga karena krisis akhlak. Krisis akhlak telah menjalar dan menjangkiti bangsa ini dan hampir semua elemen bangsa juga merasakannya. Oleh karena itu, perekonomian bangsa Indonesia semakin ambruk, kasus korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), dan perbuatan-perbuatan yang merugikan bangsa merajalela. Perkelahian, tawuran, perusakan, perkosaan, minum-minuman keras, mengonsumsi narkoba, dan bahkan pembunuhan.

Dari masalah di atas timbul berbagai pertanyaan, “Mengapa seolah-olah bangsa kita ini tidak pernah sadar? justru bangsa ini makin dijangkiti krisis akhlak yang semakin kuat? mengapa demikian?” Padahal semua orang tahu bahwa kemajuan suatu bangsa tergantung pada kualitas pendidikannya, dan sebaliknya kehancuran suatu bangsa disebabkan buruknya mutu pendidikan bangsa tersebut. Sehingga masih menyisakan tanda tanya besar, “Ada apakah dengan pendidikan di Indonesia ini?” tentu jawabannya tidak lain dikarenakan pendidikan di Indonesia masih diwarnai dengan berbagai masalah. Globalisasi telah menjadikan pendidikan sebagai ajang bisnis. Komersialisasi, privatisasi, neo-liberalisasi, dan komodifikasi telah menyeret pendidikan sebagai alat modal para kaum kapitalis. Ambil saja salah satu problematikanya adalah telah maraknya “komersialisasi pendidikan” di Indonesia, yang mana hanya kelompok yang berkantong tebal saja yang bisa menikmati dunia pendidikan. Seolah mereka menjelma sebagai penjajah yang menjadikan pendidikan dapat dinikmati bagi kalangan berduit saja. Sementara, masyarakat kelas menengah ke bawah yang hidup di bawah garis kemiskinan akan terjauhkan dengan sendirinya untuk mengenyam pendidikan.

Krisis Akhlak Tanggung Jawab Pendidikan
Keadaan seperti di atas, terutama krisis akhlak terjadi karena kurang berhasilnya dunia pendidikan dalam melahirkan generasi muda bangsanya, sehingga banyak komentar terhadap pelaksanaan pendidikan yang dianggap belum mampu menyiapkan generasi muda bangsa menjadi warga negara yang lebih baik. Dalam hal ini, peran pendidikan jelas merupakan hal yang sangat signifikan karena pendidikan memberikan pencerahan dan perluasan pengetahuan sehingga bangsa ini akan merasakan kenyamanan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun dunia pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran dana besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yaitu bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, beriman, bertakwa, profesional dan berkarakter. Secara tegas, pendidikan merupakan tiang untuk mengentaskan kemiskinan pengetahuan dan memecahkan segala permasalahan bangsa yang selama ini terjadi, sehingga bangsa kita mampu menumbuhkan mental bangsa yang beradab serta berbudaya dan bukan sebaliknya, malah melahirkan kaum intelektual yang tidak bermoral. Maka jelas, negara akan semakin terpuruk jika tidak mampu mengembalikan disorientasi pendidikan ini.

Dr. Anis Malik Thoha pernah menyatakan bahwa “Pendidikan adalah karakter, bukan sekedar apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui” (Pikiran Rakyat, 2010). Karakter itu adalah watak, tabiat atau kepribadian seseorang yang digunakan sebagai landasan untuk berpikir dan bertindak. Istilah “moral” juga sering disinonimkan dengan kata-kata : akhlak, budi pekerti, susila (KBBI v1.1, 2010). Sehingga dapat disimpulkan bahwa istilah moral sama dengan akhlak. Moral merupakan dasar dan menjadi unsur yang penting bagi pembentukan karakter.

Dengan demikian, tujuan pendidikan bukan hanya mencetak masyarakat yang cerdas secara intelektual, namun juga mampu merasakan segala keluh kesah yang berada di sekitarnya sehingga mampu menjawab persoalan-persoalan yang berada di tengah masyarakat, sekaligus dapat memberikan solusi konkret terhadap persoalan masyarakat yang sedang terjadi, dan bukan malah mencetak “Kaum Intelektual yang Tidak Bermoral”.

Politik Pendidikan sebagai Arah Kemajuan Bangsa
Jika kita perhatikan, saat ini masih banyak kebijakan pendidikan yang tidak mencerahkan dan justru malah merugikan rakyat. Ini lebih dikarenakan politik pendidikan yang dijalankan oleh pemerintahan cenderung lebih memihak kepada golongan tertentu, sehingga ia pun tidak bisa meningkatkan kualitas pendidikan bangsa ini. Padahal kita tahu, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (UUD pasal 31 ayat 1). Maka dari itu, pemerintah perlu merumuskan kembali kebijakan yang komprehensif dan panjang guna memberikan akses pendidikan secara adil kepada masyarakat (Pro Rakyat), khususnya bagi mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah.

Dari pernyataan di atas, timbul suatu pertanyaan, “Apa yang dimaksud dengan politik pendidikan itu?” Menurut Ki Supriyoko (Yamin, 2009:20), ada lima definisi mengenai politik pendidikan, dan salah satu definisinya bahwa politik pendidikan berbicara mengenai sejauh mana pencapaian pendidikan sebagai pembentuk manusia Indonesia yang berkualitas, penyangga ekonomi nasional, pembentuk bangsa yang berkarakter, dan sebagainya. Politik pendidikan adalah langkah strategis untuk mencapai tujuan perbaikan pendidikan seperti yang diharapkan. Oleh sebab itu, bangsa ini harus lebih memperhatikan dan memperjelas kembali terkait politik pendidikan Indonesia yang mempunyai peran untuk perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Singkatnya, politik pendidikan yang mencerahkan akan dapat dijalankan jika pembentukan akhlak atau moral mulai dari kalangan birokrat pemerintah sampai terbawah betul-betul dilakukan dengan tegas dan jelas.

Penyelamatan Moral Bangsa Lewat Pendidikan
Menurut Soedarsono et.al. (2003:10) di dalam bukunya yang berjudul “Membangun Kembali Karakter Bangsa”, disana secara tidak langsung menjelaskan bahwa masalah itu terbagi 2; yaitu masalah penting dan masalah genting. Masalah genting diantaranya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), narkoba dan sebagainya. Sedangkan masalah penting diantaranya watak, moral, akhlak, budi pekerti, jati diri dan sebagainya. Pemerintah harus menyelesaikan dulu masalah penting daripada masalah genting, sehingga harus jeli dalam memilih dan memilah mana masalah genting dan mana masalah penting.

Dari pernyataan di atas, jelas bahwa masalah akhlak atau moral merupakan hal yang perlu diselesaikan terlebih dahulu daripada masalah korupsi, kolusi, dan sebagainya. Jika akhlak atau moral belum tertanam dalam kepribadian seseorang, maka peluang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan akan semakin terbuka, baik merugikan dirinya, lingkungannya, bangsanya, dan negaranya.

Bangsa Indonesia, di dunia manapun, dikenal dengan konsep Pancasila-nya yang disebut santun, ramah, dan lain seterusnya (Yamin, 2009:25). Namun yang menjadi persoalan adalah konsep tersebut tinggal sebuah konsep semata, hanya sebuah hiasan yang belum menjadi sebuah kenyataan, dan konsep itu hanya dikumpulkan dan ditumpuk dalam tulisan-tulian kertas saja. Pemerintah harus selalu tegas dalam menjalankan konsep tersebut, jangan setengah-setengah, karena moralitas bangsa kita harus disesuaikan dengan nilai Pancasila. Pancasila yang hakikatnya merupakan manifestasi moral bangsa yang telah digali dari masyarakat tradisional dan merupakan pandangan hidup yang telah berakar dalam kepribadian bangsa. Sehingga moral bangsa adalah Pancasila, dan untuk pembentukan moral itu sendiri perlu adanya kesadaran pribadi, karena untuk pembentukan tersebut baiknya dilakukan mulai dari diri kita sendiri, kemudian ke dalam keluarga, lingkungan, masyarakat, dan tidak menutup kemungkinan dalam pembentukan moral bangsa ini bisa kita lakukan, hanya kita perlu waktu saja untuk melakukan hal tersebut.

Perlu diingat juga, tidak ada kata terlambat dalam membentuk karakter diri, sebab itu merupakan suatu proses yang tiada henti. Namun dalam melakukan hal tersebut perlu adanya pendidikan agama Islam sebagai dasar pembentukan moral. Pendidikan agama mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan moral, sehingga sangat penting diajarkan dan ditanamkan kepada generasi muda khususnya kaum pelajar. Karena dalam penerapannya, pendidikan agama Islam diberikan bukan hanya menjadikan manusia yang pintar dan trampil, akan tetapi jauh daripada itu yaitu untuk menjadikan manusia memiliki karakter dan akhlakul karimah.

Tidak terlepas dari hal itu, guru juga mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pendidikan. Guru yang berperan sebagai pembimbing belajar siswa dan terkenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa tersebut harus berusaha menciptakan lingkungan sekolah menjadi “hidup” dalam arti tidak monoton, yaitu dengan cara menjadikan siswa menjadi aktif, kreatif, dan kritis, sehingga dengan keadaan tersebut akan terjadi proses pendidikan yang menyeimbangkan antara nilai kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Maka dengan demikian, guru harus menyisipkan nilai-nilai pendidikan agama dalam setiap pengajarannya, dan dalam setiap kelas atau jurusan wajib adanya mata pelajaran pendidikan agama Islam sebagai wadah untuk perbaikan moral sekaligus untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Namun perlu diingat, dalam pengajarannya tidak hanya bersifat kognitif atau menghafal saja, tetapi juga harus menyentuh nilai-nilai yang diamalkan ke dalam berbagai aspek kehidupan siswa. Sehingga dengan yakin pendidikan Indonesia akan banyak melahirkan “Kaum Intelektual yang Bermoral”.

*Sekretaris Umum HIMA Persis PK UPI