HIMA PERSIS

qrcode

Kamis, 24 November 2011

Kuatnya Penjajahan Sistemik


Pada naluritasnya manusia diciptakan oleh Allah dengan mencintai 3 hal : Istri, anak dan harta benda. Kecintaan kepada tiga hal tersebut dalam ajaran Islam dinilai bukan merupakan sebuah kesalahan atau penyimpangan, melainkan pembawaan atau naluri insaniyyah. Hal tersebut dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya : 

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini (Syahwat), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).  (QS. Ali Imran : 14)

Dalam Kitab Tafsier Al-Wadih dijelaskan bahwa syahwat adalah emosi yang timbul dalam jiwa disebabkan ada dorongan untuk mengemukakan suatu pendapat atau  keperluan agar ia bisa merasakannya atau menikmatinya.

Ajaran Islam memang tidak melarang kita untuk mencintai tiga hal tersebut. Tetapi yang diwanti-wanti dalam ajaran Islam adalah : Pertama, jangan sampai kecintaan itu berubah menjadi sebuah penyakit, yang disebut penyakit “Hubbud Dunya“ , dimana salah satu cirinya,  orang itu tidak diberi rasa tumaninah dan betah dalam ibadah, misalnya berdo’a dan shalat tidak bisa tumaninah dan khusyu’, selalu resah dan terburu-buru, hadir pada Jum’atan dan pengajian  selalu ingin cepat selesai karena fikiran dan perasaan selalu terganggu oleh urusan harta dan dunia.   
Kedua, Islam melarang jangan sampai akibat dari kecintaan yang berlebihan, membuat kita lupa dzikir kepada Allah, seperti diingatkan oleh Allah : 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS. Al-Munafiqun : 9)

Lupa dzikir kepada Allah bisa dalam pengertian lupa beribadah dan bersyukur kepada Allah. Kita sering menyaksikan ada orang yang karena kecintaan kepada harta benda, sampai harus bekerja keras, banting tulang,  peras keringat, pergi pagi pulang  malam,  hingga lupa shalat, tak sempat  ngaji, sehingga shalat jum’at yang hanya sekali dalam seminggupun ia sudah tidak bisa menunaikannya.  Tidak jarang orang yang seperti itu akhirnya menjadi orang kaya dan urusan akhirat tertinggal.

Lupa dzikir kepada Allah bisa juga dalam pengertian melupakan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Banyak orang yang dalam upaya memenuhi kecintaan kepada wanita, harta atau anak keturunan tidak memperdulikan lagi batas-batas halal dan haram, hak dan bathal. Merajalelanya prostitusi di segala strata masyarakat dengan segala bentuk dan akibatnya, Mewabahnya korupsi, dan kolusi. Untuk masuk sekolah, untuk diterima sebagai pegawai, untuk naik pangkat, untuk dapat jabatan, tidak bisa dilakukan kecuali harus dengan main suap. Orang merasa tidak bisa hidup layak, kaya dan senang kecuali dengan korupsi, mencuri, menipu, berjudi, menjual diri, dsb. Dalam kaitan ini Nabi saw.  mengingatkan :"Akan datang kepada manusia suatu zaman dimana orang tidak bisa hidup pada masa itu kecuali dengan maksiat, sampai orang harus berdusta dan bersumpah." (HR. Ad-Dailami dari Anas ra.)
Dalam hadits lain Nabi saw bersabda : 

ياءتى على الناس زمان همهم بطونهم وشرفهم متاعهم ,و قبلتهم نساءهم , ودينهم دراهمهم  و دنانيرهم , أولئك شر الخلق لا خلق لهم عند الله – ر السلمي عن علي

"Akan datang suatu masa dimana prioritas (Jadi fikiran, obrolan hidup) mereka adalah isi perut, (hanya buthun dan tidak perduli soal bathin, alias rohani) yang memuliakan mereka harta mereka; (Orang dipandang mulia dan sukses, hanya karena banyak hartanya, tinggi kedudukan sosialnya, regel titrel dan balatak gelarnya);  kiblat mereka (yang menjadi pusat perhatian, arah fikiran  adalah syahwat kepada ) perempuan, agama mereka (yang dipertuhan, sehingga berkeluh kesah, bukan Allah, melainkan) dirham dan dinar (rupiah dan dolar) ; Mereka itu adalah sejelek-jelek makhluk, mereka tidak akan mendapat bagian di sisi Allah. (Kelak di kemudian hari)"  ( HR. As-Sulami dari Ali ra – Jam’ul Jawami’  9 : 200 )

Hadits ini mengingatkan kita bahwa akan datang suatu masa dimana yang jadi target hidup hanyalah kesenangan duniawi semata, duit, isi perut, wanita, dan tahta. Mereka mengira akan kekal di dunia, mereka lupa akhirat, lupa akan hisaban Allah.
Pada beberapa dekade terakhir ini saja, manusia yang menghambakan diri dengan uang atau mempertuhankan harta benda telah menjadi sebuah paham dan kekuatan global yang dengan giat berusaha menularkan wabah dan virus tersebut kepada setiap individu di seantero dunia. Sebuah kekuatan bernama “Kapitalisme Sekuler“. Sebuah sistem yang telah menjadi kekuatan imperialisme baru atau “Neo Imperialisme”. Adam Smith mengatakan :  “ Jika tukang daging menjual dagingnya kepada anda, itu bukan berarti dia belas kasihan kepada anda, melainkan karena dia mengejar keuntungan sendiri. Bicara uang, karena hidup adalah uang. Itulah cita-cita kapitalisme dan liberalisme.”

Kita menyaksikan sebuah proses yang sistemik, bagaimana “War Againts Terrorism“ (Perang Melawan Terorisme) telah bergeser menjadi “War Againts Islam“  (Perang Melawan Islam). Mereka dengan berbagai cara melakukan demonologi Islam (penyetanan Islam), memberikan stigmanisasi, Pencitraan buruk terhadap Islam, dengan  menempatkan Islam sebagai bahaya, jahat, kejam dan menjadi sebuah ancaman yang menakutkan. Dengan drama 11 September 2001 yang dinilai penuh rekayasa, dimana salah satu symbol kapitalisme yakni gedung WTC di New York runtuh, Islam telah diposisikan sebagai musuh baru Kapitalisme pasca runtuhnya Uni Soviet.
Dalam konteks ekonomi global, terutama pasca era Perang Dingin, negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia, yang penduduknya mayoritas muslim berbondong-bondong menerapkan sistem ekonomi kapitalis dan demokrasi liberal. AS dan negara-negara sekuler Barat dijadikan sebagai model atau contoh dengan sebuah harapan, akan mendapatkan kemajuan, kemakmuran duniawi, keadilan dan stabilitas. Kapitalisme dan Demokrasi Liberal dianggap seolah-olah sebagai satu-satunya ideologi yang dapat mengangkat negara dan bangsa dari jurang kemiskinan, ketidak-adilan, dan ketertinggalan, ke arah kemakmuran, kedamaian dan kemajuan. 
Imperialisme merupakan tujuan dari negara-negara kapitalis untuk menguasai negara-negara lain melalui cara-cara yang tidak langsung, alias imperialisme non fisik. Ada kecenderungan nyata, di negara-negara Dunia Ketiga yang mencoba menerapkan model kapitalisme dan demokrasi liberal sebagai pijakan sistem ekonomi dan politiknya, justru malah mengalami kondisi yang semakin memprihatinkan. Kemiskinan, keterbelakangan, pengangguran, ketimpangan sosial, konflik horizontal dan vertikal, korupsi akut, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, dan krisis moral degradatif yang semakin parah dan berdampak sangat buruk.

Kapitalisme global telah mempromosikan dan menularkan wabah : Individualisme (egoisme alias ananiyyah, tidak perduli terhadap sesama apalagi kaum dlu’afa); Materialisme (segala sesuatu selalu diukur dengan uang dan materi, mata duitan); Konsumerisme (segala maunya dibeli dan dimiliki, hawek dan mak-mak mek-mek); Permisifisme (Tidak perduli terhadap nilai dan hukum agama, tidak mengindahkan batas halal haram, hak dan bathil) dan Hedonisme ( kesenangan duniawi semata yang jadi tujuan dan kejaran). 
Anthony Gidden menyatakan bahwa kapitalisme global telah merombak tatanan kehidupan masyarakat. Perombakan ini bukan hanya pada tataran sosial, ekonomi, dan politik. tapi juga pada tataran nilai. Yang dikejar hanya kesenangan duniawi semata, mereka tidak lagi memperdulikan tatanan dan norma serta nilai-nilai agama. Merajalelanya patologi sosial (penyakit masyarakat) seperti: prostitusi, bisnis esek-esek, mafia perjudian, korupsi, aborsi, minuman keras dan narkoba, sudah sampai pada titik nadir yang sangat memprihatinkan. 

Di bidang media massa kita menyaksikan ada tiga fenomena mendasar. Secara Sosial, telah terjadi rekayasa sosial (Social engineering) yang disengaja untuk mentransformasikan atau mengubah masyarakat kita menuju masyarakat sekuler-liberal , Masyarakat yang menjauhkan agama dari wilayah kehidupan publik, agama hanya dianggap sebagai urusan pribadi dengan Sang Khaliq, tidak boleh dibawa-bawa ke urusan ekonomi, sosial, politik maupun budaya.  Secara Ekonomi, membuktikan bahwa kaum kapitalis telah menguasai banyak media massa, baik koran, majalah terutama TV, demi uang semata. Kita menyaksikan bagaimana eksploitasi pornografi, pornoaksi, dan hal-hal yang berbau mistik, takhayyul, dan syirik; dengan bungkus istilah-istilah Islam,  demi mengeruk keuntungan materi semata, tanpa peduli terhadap dampak buruk bagi akidah dan akhlak masyarakat. Kalau saya ambil istilah Yoga (Ketua PD HIMA Persis  Kota Bandung) nilai yang didapatkan cuma Eksploitasi Seksualitas dan Eksploitasi Hedonisme,. Media massa sa’at ini mayoritas bukan sekedar sebagai media hiburan, tapi telah punya andil besar dalam meruntuhkan dan menghancurkan nilai-nilai moral, etika, dan agama. Sementara banyak pemuka agama ikut memberi legitimasi terhadap berbagai kemunkaran tersebut, dan masyarakatpun sering tidak menyadarinya, apalagi berusaha untuk menghindarinya, paling tidak usaha meminimalkannya.  Dan Secara Politik, apa yang terjadi di media massa saat ini menunjukkan bahwa pemerintah, termasuk di dalamnya kalangan legislatif dan yudikatif, tanggung jawab terhadap masalah akidah dan akhlak masyarakat relatif masih sangat rendah.

Rentetan musibah, berupa krisis ekonomi berkepanjangan, mewabahnya berbagai penyakit yang menakutkan, seperti Flu Burung, Demam Berdarah, Malaria, HIV/AIDS, dsb;  banyaknya kecelakaan, serta bertubi-tubinya bencana alam, dengan korban jiwa dan harta yang tak terhingga,  nampaknya belum cukup kuat untuk menyadarkan banyak orang dan banyak pihak, untuk menyadari segala kekeliruan, kesalahan dan dosa, kemudian mendorong diri untuk lebih taqarrub kepada Allah, bertaubat atas segala kesalahan dan dosa, serta bersyukur atas segala nikmat dan karunia-Nya.  Allah swt sudah  mengingatkan :”Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". ( QS. Thaha : 124 )

Belakangan ini, Liberalisme yang merupakan produk atau anak kandung dari kapitalisme, bukan hanya telah mewarnai bidang sosial, politik dan ekonomi, tapi juga telah masuk ke wilayah agama. Dengan munculnya paham dan agama baru bernama “Pluralisme Agama”.  
Kebebasan adalah nilai asing yang secara sistemik dicekokkan  ke dalam tubuh masyarakat muslim. Pluralisme Agama adalah paham bahkan agama baru yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, semua menuju jalan kebenaran, menuju tuhan yang  satu, tuhan yang sama.  Dan karenanya kebenaran semua agama relatif, tidak mutlak. Oleh sebab itu setiap penganut agama  tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama lain salah.  Pluralisme Agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama kelak di akhirat akan berdampingan di surga .

Munculnya sebuah konsep Hukum Islam yang terkait dengan masalah : Kewarisan, Perkawinan dan Wakaf, yang disusun bukan merujuk kepada Al-Qur’an, As-Sunnah dan Fikih Islam, tapi lebih berdasarkan kepada : HAM, Demokrasi, Kesetaraan Gender dan Pluralisme Agama. Konsep itu berisi antara lain : Bolehnya nikah beda agama; batalnya poligami tapi sahnya nikah kontrak; penyamaan hak warits laki-laki dan wanita; serta adanya hak warits bagi ahli warits yang berbeda agama, dsb. 

Munculnya kasus “Aminah Wadud“ dkk. Yang menyelenggarakan  jum’atan di Katedral (Gereja Agung) milik keuskupan Manhatan, New York, dengan muadzin, khatib dan imamnya wanita, dengan jama’ah campuran laki-laki dan wanita, dengan shaf sejajar antara laki-laki dan wanita, dengan sebagain jamaah wanitanya tidak menutup aurat.

Munculnya kasus shalat dengan dua bahasa yang dilakukan oleh komunitas Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku, pimpinan M. Yusman Roy, mantan petinju, di Malang. Munculnya kelompok yang menghujat dan menggugat otentisitas (keaslian) al-Qur’an. 

Semua yang disebutkan di atas menjadi bukti betapa liberalisme di bidang agama sudah sampai pada tingkat yang memprihatinkan dan membahayakan sekali. Mereka juga mengusung pendekatan hermeneutik dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, mengikuti tradisi Yahudi dan Kristen dalam menafsirkan kitab suci mereka.  Sebuah tafsier yang katanya bukan hanya memahami makna kata dan kalimat, tapi juga memasukkan unsur-unsur historis dan sosio budaya. Sehingga Khamer atau Miras bisa jadi halal  bagi penduduk daerah bersuhu dingin, karena dulu khamer diharamkan bagi penduduk bersuhu udara panas, dan berwatak temperamental (mudah marah).  Babi bisa jadi halal jika jumlahnya banyak dan harganya murah, dengan argumen babi dulu diharamkan karena babi di sana jarang dan harganya mahal.

Kita tahu, tugas para ulama dan da’i adalah untuk membimbing umat, memberi pencerahan, dan menunjukkan kepada mereka tentang mana yang hak dan bathil, mana yang halal dan haram, yang ma’ruf dan munkar, yang benar dan sesat. Itulah tugas kenabian yang diamanahkan kepada para ulama sebagai pewaris Nabi saw. Tidaklah pada tempatnya jika para ulama atau cendekiawan muslim malah membuat umat menjadi bingung, ragu dan sesat, dengan membuat statement dan tasykik yang tidak sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Lantas kalau tidak bisa membedakan dan meyakini mana yang benar dan sesat, mana yang ma’ruf dan munkar, kapan dan tugas siapakah melakukan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar itu ? Rasulullah saw pernah mengingatkan : 
“Di akhir zaman akan muncul sekelompok orang muda usia, tapi akhlaknya buruk, mereka berbicara tentang al-Qur’an, tapi sudah lepas dari ajaran islam, seperti lepasnya anak panah dari busurnya. Iman mereka  tidak melewati tenggorokannya (hanya sampai di bibir tidak masuk di hati). Jika kamu bertemu dengan mereka perangilah mereka, sesungguhnya memerangi mereka akan mendapat pahala pada hari kiamat.” (HR. Ahmad dan Al-Bukhari).

Dalam hadits lainnya Nabi saw mengingatkan : 
“Kalian akan benar-benar mengikuti (mengekor) perilaku orang-orang sebelum kamu setapak demi setapak, sampai kalau kamu diajak masuk ke lubang yang sempit  sekalipun oleh mereka, pasti kamu akan mengikutinya.” Para Sahabat bertanya :  “Apakah yang dimaksud mereka itu Yahudi dan Kristen ?” Nabi saw menjawab : “ Siapa lagi ? “ ( HR. Ahmad dan Al-Bukhari )

Apa yang diingatkan Nabi saw itu kini kita saksikan dan rasakan sendiri, bagaimana kalangan kaum muslimien termasuk kalangan cendekiawannya secara sadar atau tidak, telah dengan rela dan senang hati menjadi budak mereka, mengikuti segala tradisi, dan misi mereka, bukan hanya dalam masalah akhlak dan muamalah keseharian semata, tapi hampir dalam segala aspek kehidupan, baik itu sosial, ekonomi dan politik, termasuk dalam masalah agama, dalam cara menafsirkan al-Qur’an, dsb. 

Kita telah menyaksikan dan merasakan akibat suasana kehidupan yang  semakin jauh dari nilai-nilai Islam. 
Di bidang Ekonomi : Ekonomi kapitalistik, sistem ekonomi yang sarat dengan hal-hal yang diharamkan dalam Islam, seperti : riba, gharar, riswah (suap) dan telah melahirkan konglomerasi, monopoli dan yang telah memperlebar jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, jauh dari suasana ekonomi yang dikendaki oleh Allah dalam QS. Al-Hasyar : 7.  
Di Bidang Politik : Politik oportunistik, orang berlomba mendapatkan jabatan dan kedudukan, bukan dalam rangka dakwah, bukan demi kemaslahan dan kesejahteraan bersama, tapi lebih  karena vested interest dalam rangka memenuhi ambisi pribadi dan dalam rangka memperkaya diri dan kroni. 
Di Bidang Budaya : Budaya hedonistik, yang jadi target hanya pemuasan nafsu hewani, budaya Barat jadi Kiblat, apa yang datang dari Barat dinilai pasti baik, pasti benar. Sementara nilai-nilai Islam dinilai Old Fashion, kuno dan Out of date
Di Bidang Sosial : suasana kehidupan yang egoistik dan individualis semakin kentara, orang-orang kaya dan berada,  semakin banyak yang tidak perduli terhadap kaum dlu’afa. Bakhil alias kikir.  Segala apa yang telah dimilikinya tidak disadari sebagai sebuah amanat disamping nikmat. Malah bisa jadi laknak jika dengan kekayaan dan kejayaan itu dia semakin genah batah dalam maksiat dan durhaka kepada Allah.  
Di Bidang Pendidikan : Pendidikan yang materialistik, hasil pendidikan itu harus terukur dengan materi dalam bentuk : gelar, jabatan, dan uang. Pendidikan dinilai gagal melahirkan manusia sholeh yang menguasai Iptek. Manusia yang cerdas dan takwa serta tawadlu’. Banyak orang yang semakin tinggi pendidikannya, bukan berilmu padi, kian berisi kian runduk, melainkan semakin jocong dan sombong, menampilkan arogansi intelektual dengan melakukan ghamtun-nasi, melecehkan dan merendahkan orang lain.  
Di Bidang Agama : Agama yang sinkristik, dengan semakin mewabahnya mistikisme, tetap merajalelanya tahayul, bid’ah dan khurafat (TBC), menjamurnya aliran sesat dan menyesatkan dengan para pengasong dan suporternya;  serta semakin mewabahnya  virus Pluralisme Agama. 

Wahai Ikhwah fillah ! inilah tugas kita yang belum terselesaikan dan hampir terlupakan dan tak tersadari. Semoga catatan ini bisa menjadi sebuah intelegensi, stimulasi bagi semangat kita, sebuah inspirasi untuk melakukan perubahan baik sikap maupun ucapan. Aamien

Wallahu ‘alam

0 tanggapan:

Posting Komentar