HIMA PERSIS

qrcode

Kamis, 29 Desember 2011

Kiat Islami Mengokohkan Soliditas Organisasi (Bag 1)

(Rizki Abdurahman) Setiap organisasi memiliki cita-cita dan keinginan selalu memberikan yang terbaik bagi umat. Tentu saja keinginan tersebut jangan hanya sebatas wacana belaka, tetapi harus diwujudkan dengan berbagai upaya menuju kearah sana. Salah satu hal yang penting untuk diupayakan adalah mengokohkan soliditas dalam tubuh organisasi. Suatu organisasi akan berdiri tegak, kuat dan kokoh manakala para penghuni organisasi tersebut memiliki kesolidan. Lalu bagaimana Islam memberikan kiat-kiat agar organisasi tetap solid?. Simaklah pemaparan berikut ini:
Ada beberapa kiat yang disuguhkan Islam untuk memelihara soliditas organisasi, di organisasi manapun kita berada. Kiat-kiat ini harus tetap dipelihara oleh para anggota di organisasi secara bersamaan. Kiat-kiat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Musyawarah, 2. Tabayyun, 3. Islah, 4. Silaturahmi, 5. Ta’awun, 6. Menjauhi Perbedaan,
7. Tafahhum, 8. Tadhhiyyah, 9. Taushiyyah.

Penjelasannya lebih rinci dapat disimak berikut ini:

  1. Musyawarah
    Ada tiga ayat Alquran yang akar katanya menunjukkan musyawarah, yaitu:
    1. Al-Baqarah:233
      فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَ

      Apabila keduanya (suami-istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan musyawarah antar mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya.
      Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami-istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak.
    2. Ali Imran:159
      فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

      Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
      Ayat ini dari segi redaksionalnya ditujukan kepada Nabi Muhamad agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan para sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi ayat ini juga merupakan petunjuk kepada kaum muslimin, khususnya setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
    3. As-Syura: 38
      وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

      Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
      Ayat ini turun sebagai pujian kepada kaum Anshar yang bersedia membela Nabi saw. dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayub al-Anshari. Namun ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah dalam kebaikan.

    Pengertian Musyawarah Kata musyawarah diambil dari kata syawara. Pada mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang , sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Dari pemaknaan asal, yaitu mengeluarkan madu, dan perkembangan maknanya, yaitu mengajukan pendapat, terdapat hubungan yang kuat, yang perlu untuk dicermati oleh orang yang bermusyawarah, yaitu sebagai berikut:
    Madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di manapun dan oleh siapa pun. Madu dihasilkan oleh lebah. Lebah makhluk yang sangat berdisiplin, kerjasamanya mengagumkan, makanannya sari kembang, dan hasilnya madu (teu sawios raeng oge). Di manapun hinggap lebah tak pernah merusak. Ia takkan mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat jadi obat. Seperti itulah makna musyawarah dan demikian pula sifat yang melakukan musyawarah. Raeng loba omong, tapi hasilnya manis menyehatkan. Lain kalahka omong, hasilna pundung, nyieun kelompok tandingan, nu asalna dulur jadi batur.
    Petunjuk Alquran dalam Pelaksanaan Musyawarah Petunjuk Quran tentang musyawarah amat singkat dan hanya mengandung prinsip-prinsip umum saja, antara lain:
    Sikap yang harus dilakukan seseorang untuk menyukseskan musyawarah, seperti yang diisyaratkan dalam Ali Imran:159. Pada ayat ini disebutkan 3 sikap yang secara berurutan diperintahkan kepada Nabi untuk dilakukan sebelum datangnya perintah bermusyawarah, yaitu:
    1. Sikap lemah lembut
      Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai seorang pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musyawarah akan bubar. Teu bubar ge babar, nyaeta sagala kaluar sarupaning ucapan nu teu pantes, sarta sumpah serapah, nu akhirna bakal jadi bubur, nyaeta ancur and babak belur. Petunjuk ini terkandung dalam kalimat وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
    2. Memberi maaf dan membuka lembaran baru
      Pada ayat tersebut diungkap dengan kalimat fa’fu ‘anhum (maafkanlah mereka). Maaf secara harifiah berarti menghapus. Memafkan berarti menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Hal ini perlu untuk diperhatikan, karena tidak ada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati. Di sisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf. Karena ketika bermusyawarah mungkin terjadi perbedaan pendapat atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain. Ini pesan yang terkandung dalam kalimat fa’fu ‘anhum. Kemudian orang yang berwusyawarah harus menyadari bahwa untuk mencapai hasil yang terbaik ketika bermusyawarah tidak hanya mengandalkan ketajaman analisis akal saja, tetapi perlu pula kepada faktor yang ketiga.
    3. Permohonan maghfirah (ampunan) Allah
      Dalam lanjutan ayat itu disebutkan was taghfir lahum. Permohonan maghfirah (ampunan) Allah. Artinya perlu kesucian hati, kebesaran jiwa, dan keikhlasan sebagai bukti kerhamonisan hubungan dengan Allah. Kemudian Alquran memberi petunjuk pula tentang apa yang harus dilakukan setelah musyawarah itu selesai. فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ Yaitu kebulatan tekad untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan dalam musyawarah.

    Permasalahan yang di Musyawarahkan Dari penggunaan kata amr tersebut tampak jelas bahwa
    1. Ada hal-hal yang menjadi urusan Allah semata sehingga manusia tidak diperkenankan untuk mencampurinya;
    2. Ada pula urusan yang dilimpahkan sepenuhnya kepada manusia.
    Dalam masalah ketetatapan Allah dan Rasul-Nya yang bersumber dari Wahyu Allah menyatakan dengan tegas (al-Ahzab:36)
    وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمْ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

    Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
    Dari ayat-ayat tersebut kami berkesimpulan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Allah secara tegas dan jelas, baik langsung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti urusan akidah dan tata-caranya, hukumnya judi dan miras. Selain itu Musyawarah hanya dilakukan pada masalah-masalah ibadah yang belum ditentukan petunjuknya secara tegas dan jelas Persoalan duniawi, baik yang petunjukknya bersifat global maupun tanpa petunjuk sema sekali.
Rizki Abdurahman - Mahasiswa PBA UPI Bandung dan Kadep Kajian Ilmiah HIMA PERSIS PK UPI

0 tanggapan:

Posting Komentar